Bagi sebagian masyarakat Indonesia khususnya di kota besar, budaya merupakan sebuah warisan nenek moyang terdahulu. Bentuknya terdiri dari berbagai unsure seperti sistem agama dan politik, Adat istiadat, Bahasa, Perkakas, Pakaian, Bangunan dan Karya Seni.
Seiring berkembangnya kemajuan zaman dan teknologi, manusia pun ikut menciptakan sebuah kebiasaaan dan tradisi yang kemudian mewariskan sebuah budaya baru pada generasi selanjutnya dan terus begitu pada generasi berikutnya.
Dari hasil cipta rasa dan karsa yang terkait dengan budaya tersebut, masyarakat makin sulit untuk menginventaris bahkan mendokumentasikan hasil dari warisan terdahulu. Seperti halnya jenis tarian, bangunan bersejarah, hingga sistem kekerabatan yang sudah berubah.
Tahun berlalu dan zaman berganti, lama kelamaan warisan tersebut terkikis, Berdasarkan sedikit pengamatan yang saya lakukan, masyarakat Indonesia kebanyakan menganggap kesenian, seperti tarian, music dan alat pendukungnya dipandang sebagai hasil warisan budaya.
Sedangkan beberapa unsure lain yang termasuk kedalam budaya secara perlahan luntur dan hilang begitu saja. Hingga saat ini sudah tercatat ratusan acara adat dari berbagai suku hilang dan masyarakat pun beralih pada kemajuan teknologi.
Salah satu contohnya yang paling nyata dan tanpa banyak disadari masyaakat adalah penggunaan bahasa daerah. Dimana masyarakat khususnya pemuda mulai enggan untuk memakai bahasa daerahnya sebagai sebuah identitas dalam pergaulan.
“Seperti yang terjadi di daerah Papua, dimana ada Sembilan bahasa daerah yang kini tidak digunakan kembali. Begitu juga dengan Maluku Utara yang terdapat satu bahasa sudah punah. Menyusul daerah Jawa yang terkenal dengan bahasa Kromo yang secara perlahan mulai terkikis”. (Sumber : Harian Kompas, 13/11/08)
Masih dalam sumber yang sama, Summer Institute of Linguistics (SIL), lembaga swadaya masyarakat internasional yang mendokumentasikan bahasa-bahasa yang hampir punah di dunia, mencatat, di Sumatera dari sebanyak 52 bahasa pada tahun 2000, yang tersisa kini hanya tinggal 49 bahasa atau sebanyak tiga bahasa hilang.
Di Papua, dari 271 bahasa yang ada, dua di antaranya sudah menjadi bahasa kedua. Di Maluku, dari 132 bahasa, hanya 129 yang aktif dituturkan dan tiga bahasa lainnya hilang. Bahasa yang hilang tersebut bisa saja hilang bersama dengan penggunanya.
Oleh sebab itu, peran pemerintah dan masyarakat sangat menentukan inventaris sebuah kebudayaan. Setidaknya kedua peran tersebut bersinergi dan mau menjaga hasil cipta rasa dan karya nenek moyang terdahulu.
Punahnya bahasa daerah yang semakin lama menyusut, besar kemungkinan diakibatkan oleh akulturasi budaya barat yang merasuk kedalam budaya timur yang kebanyakan etnis Melayu. Dalam proses percampuran dua budaya tersebut, masyarakat menerima begitu saa tanpa ada sebuah sistem yang menyaring dan mengatur tentang mana yang baik dan buruk.
Hingga realitas yang terjadi dari percmpuran dua budaya tersebut sangat bergantung terghadap peran individu yang menerima dan menerapkan. Tentunya tentang perdebatan mengenai mana yang buruk dan baik.
Diperkirakan dalam 20 tahun kedepan, jika masyarakat dan pemerintah Indonesia tidak menerapkan sebuah pola filterisasi yang lebih matang, hasil dari kebudayaan asli bangsa Indonesia yang tersebar di berbagai daerah akan mulai punah dan akan ditinggalkan.
Bahkan tidak menutup kemungkinan akan tercipta sebuah kebudayaan baru yang makin sulit di definisikan sebagai hasil kebudayaan Indonesia. Dan generasi sesudahnya hanya mendapatkan informasi dari kesimpangsiuran mengenai bentuk dan materi budaya tanah air yang secara perlahan mulai bergeser.
Realitas ini menjadi tanggung semua masyarakat Indonesia,tidak memandang sesuatu dari golongan, ras, kulit, Suku dan Agama. Hanya kepedulian tiap-tiap masyarakat untuk membuka mata dari pergeseran nilai sebuah budaya. (dharma)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar