Berdesakan diantara ratusan bahkan ribuan orang yang memasuki lorong besi buatan china, saling sikut dan berebut tempat duduk menjadi klise keseharian sang masinis kereta api. Namun siapa sangka, gerbong sepanjang 204 meter ada pasar rakyat dadakan yang menawarkan aneka dagangan dengan harga cukup murah.
Beragam barang jadi hingga kuliner banyak ditawarkan. tidak heran jika alat transportrasi yang satu ini banyak diminati oleh golongan masyarakat menengah kebawah, sebagai kendaraan favorit untuk kembali ke kampung halaman tercinta.
Intan (22) misalnya, wanita asal Solo yang bekerja sebagai pelayan rumah makan tegal di kawasan jatinegara Jakarta. adalah salah satu penumpang yang selalu setia menggunakan kereta api sebagai jembatan untuk mengobati kerinduannya terhadap kampung halaman yang berjarak puluhan kilometer dari Jakarta. Dirinya rela berdesakan bahkan rela duduk didalam wc yang tepat berada diantara sambungan bongkahan baja tua, manakala tidak kebagian mendapat tempat duduk.
Dengan kehadiran pasar rakyat dadakan, dirinya tidak pernah khawatir jika perutnya keroncongan. Aneka makanan seperti nasi pecel, nasi goreng, nasi uduk lengkap dengan lauk pauknya bisa dibeli dengan merogoh kocek Rp. 3.000 hingga Rp. 5.000. Selain itu banyak dari penumpang yang menyempatkan diri membeli oleh-oleh seperti boneka bahkan telur asin.
Padatnya penumpang, seakan memberikan berkah tersendiri bagi pedagang. Darto (52) misalnya, pria paruh baya asal Kutoharjo yang kesehariannya berada diatas gerbong kereta, dirinya mengaku bisa mengumpulkan biaya untuk modal memberangkatkan anaknya bekerja di Korea sebagai pengasuh bayi.
Begitu juga dengan Mintoharjo dan Fathur rekan seperjuangannya, keduanya bahkan bisa membiayai sekolah anaknya hingga tamat SMA. meski cemoohan sinis dan tuduhan miring seperti copet akrab mereka dengar setiap hari dari mulut penumpang yang duduk lantai karna terinjak ketika dilangkahi.
Diatas kereta yang melaju dengan kecepatan 60-100 Km/jam, para pengais rezeki ini tidak pernah nampak lelah berdiri dan berteriak dari gerbong yang satu ke gerbong lainya. Bagi mereka hanya terpikir bagaimana bisa meningkatkan taraf ekonomi keluarga agar terhindar dari jeratan hutang dan kemiskinan.
Ironisnya, peraturan ketat PT KAI tidak berpihak dengan mereka. Pelarangan dagang didalam kereta seakan menyayat jantung perekonomian mereka. Dengan alasan meresahkan penumpang dan menyebabkan kerugian terhadap karcis kereta yang dijual.
Meski demikian, para pengais rejeki ini tidak kehabisan akal, mereka selalu bermain kucing-kucingan kepada para petugas ketika kereta melaju meninggalkan stasiun.
Bila tertangkap mereka harus rela barang dagangannya disita, jika tidak mau, terpaksa berdamai dengan petugas dengan cara memberikan beberapa lembar uang Rp 5.000 kepada setiap petugas yang bertugas. Bayangkan jika dalam satu hari bertemu tiga sampai lima petugas.
Banyak sebagian dari mereka yang tidak sanggup menyuap petugas, harus loncat dari gerbong kereta ketika melaju, apabila sudah dekat dengan stasiun.
Peraturan ditetapkan, petugas pun main belakang, pedagang kecil dimiskinkkan tanpa ada solusi yang terpikirkan. (dharma)