“Ing Ngarso Sung Tuludo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” sebuah semboyan yang di cetuskan oleh Ki Hajar Dewantara dan diaplikasi dalam sistem pendidikan Indonesia, yang berarti di depan memberi contoh , ditengah memberi semangat, dibelakang memberi dukungan. Nampaknya tidak teraplikasi dengan baik oleh guru siswa Sekolah dasar YPPK Manusela, Pulau Seram, Maluku.
Mengingat sekolah ini jauh dari standar mutu pendidikan baik dalam kesetaraan porsi kurikulum berbasis kompetensi dan kualitas tenaga pengajar. Hal ini sangat bertolak belakang dengan peraturan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang tercantum dalam Pasal 31 ayat 1 dan 2 yang mengatur bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional yang diatur oleh undang-undang”.
Bagaimana tidak, lokasi sekolah yang jauh berada ditengah hutan kawasan Taman Nasional Manusela sama sekali tidak mendapat perhatian dalam hal pendidikan, selain akses menuju kesana sulit dijangkaum. Hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki berhari-hari. Proses belajar mengajar yang jauh dari standar kualitas, menjadi perhatian utama baik dari dinas terkait dan peran masyarakat.
Hampir 73 siswa-siswi mulai dari kelas 1 dan kelas 6 hanya mendapat jatah satu jam saja setiap harinya, mengingat kurangnya tenaga pengajar yang hanya ada satu guru saja. Yuli Lilihata misalnya, adalah potret tenaga pengajar honorer yang mendapat upah Rp. 300.000/ bulan harus rela berlarian dari kelas yang satu ke kelas yang lain.
Dalam pembagian jam belajarpun Yuli, harus memanfaatkan jam belajar yang singkat. Tak ayal tugas membaca dan mengerjakan soal-soal yang ada di dalam buku menjadi menu andalan ketika mengajar. Tentunya hal ini sangat tidak imbang dengan tingkat pemahaman para siswa yang hanya mendapat sedikit penjelasan mengenai materi pelajaran.
Hanya ada sedikit perlakuan istimewa pada siswa kelas enam mengenai jam belajar, mengingat siswa pada kelas ini harus bisa lulus ujian nasional guna melanjutkan ke tingkat pendidikan berikutnya. “saya harus mondar-mandir ke setiap kelas, agar bisa mengawasi murid ini. Tapi mau bagaimana lagi, asal kita ikhlas melakukannya pekerjaan ini terasa ringan” ucap Yuli yang sudah mengajar sekolah ini hampir delapan tahun.
Minimnya fasilitas, terbatasnya buku pelajaran dan ruangan kelas seadanya tidak menyurutkan minat belajar para siswa SD YPPK Manusela melawan buta huruf dan melek ilmu pengetahuan. “sebenarnya di sekolah ini ada tiga guru lain yang membantu, tapi sekarang tidak lagi. Karena mereka sudah mendapat Surat Keputusan dari Dinas Pendidikan dan sudah menjadi Pegawai Negri Sipil dan mereka meninggalkan sekolah kemudian menetap di daerah pesisir dan tidak mau lagi kembali mengajar , jadi setiap bulan meraka hanya ambil gaji saja”. Tambah Yuli bercerita.
Kurangnya pengawasan dan tanggung jawab terhadap tenaga pengajar di daerah pedalaman menjadi masalah serius yang harus segera di tangani pemerintah, begitu juga dengan peran tanggung jawab guru yang sudah berstatus PNS.
Hal yang sama turut dirasakan oleh desa tetangga Manusela yakni Maraina. Salamoni Rehena (52) selaku guru dari enam kelas Sekolah Dasar Negri Maraina yang juga merangkap sebagai kepala sekolah selalu melantangkan suaranya pada setiap kampanye pemiilihan kepala daerah. “Kami orang gunung sudah mendiami tanah ini puluhan tahun, namun yang tercantum hanya namanya saja. Soal kesetaraan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat kami masih tertinggal jauh. Biar Negara ini sudah merdeka, kami orang gunung belum merdeka”. Tutur Rehena, dengan jelas.
Meski bantuan datang dari berbagai pihak terkait dengan pengadaan fasilitas belajar mengajar berupa alat peraga tidak bisa di pakai. “Sekolah kami hanya ada satu guru saja, dan tingkat penguasaan terhadap alat peraga kami juga tidak begitu mengerti dengan jelas”. Keluh Rehena. Yang berlatar belakang guru rohani.
Kondisi tenaga pengajar yang sudah mendapatkan SK Bupati dan
berstatus PNS tidak lagi kepada fungsi dan tanggung jawabnya terhadap tugas penyampai ilmu pengetahuan. Banyak dari mereka turun gunung dan lebih memilih menetap di daerah pesisir. Selain itu, keterbatasan sumber daya manusia terhadap penguasaan materi kurikulum guru seadanya, sehingga proses penyampaian materi pembelajaran dirasa kurang maksimal.
Butuh Perhatian dan Tindakan
Polemik permasalahan sarana belajar mengajar dan kurangnya tenaga pengajar di daerah pedalaman seperti Dusun Manusela dan maraina perlu mendapat pengawasan yang ketat dari berbagai instansi dinas terkait dan masyarakat selaku orang tua murid.
Tentunya hal ini berkaitan dengan semboyan pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara yakni, Tut Wuri Handayani. Terlepas dari itu, peran dinas pendidikan provinsi dan kabupaten harus melakukan evaluasi terhadap tenaga pengajar yang sudah diangkat menjadi Pegawai Negri Sipil berdasarkan surat Keputusan Bupati setempat. Tujuannya agar kedisiplinan dan tanggung jawab terhadap tugasnya semakin baik. Sehingga permasalahan dunia pendidikan bagi orang pedalaman sejajar dengan yang ada di kota-kota besar.
Melihat kondisi pendidikan seperti ini sebuah komunitas bernama 1 Buku untuk Indonesia berusaha menggerakan peran masyarakat Indonesia dan dinas terkait untuk menyalurkan buku pelajaran. Meski dengan buku bekas pakai, namun layak baca dan memenuhi syarat kurikulum pendidikan 2011/2012.
Program mengenai komunitas ini menitikberatkan kegiatannya kepada sekolah yang berada di pelosok daerah. Hal ini dikarenakan, hampir dari seluruh sekolah yang berada di pedalaman cenderung kekurangan dalam soal fasilitas belajar mengajar.
Tak kurang dari seribu buku dan berbagai macam perlengkapan alat tulis dibagikan kepada dua desa yakni Manusela dan Maraina yang berada di Taman nasional Manusela. Dalam menjalankan program ini, komunitas satu buku yang di gagas oleh komunitas petualang Aku Cinta Indonesia melibatkan banyak pihak, diantaranya Kodam Pattimura XVI Ambon seebagai fasilitator dalam program mencerdaskan anak bangsa sebagai bentuk pengabdian kepada Negara, selain itu Syarif Assegaf selaku Wakil Gubernur yang merespon positif sekaligus terkejut mendengar kondisi pendidikan di pedalaman Pulau Seram, Abdul Kadir selaku Kepala Dinas Pendidikan tingkat Provinsi yang ikut andil dalam program mencerdaskan bangsa. (dharma)
Mengingat sekolah ini jauh dari standar mutu pendidikan baik dalam kesetaraan porsi kurikulum berbasis kompetensi dan kualitas tenaga pengajar. Hal ini sangat bertolak belakang dengan peraturan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang tercantum dalam Pasal 31 ayat 1 dan 2 yang mengatur bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional yang diatur oleh undang-undang”.
Bagaimana tidak, lokasi sekolah yang jauh berada ditengah hutan kawasan Taman Nasional Manusela sama sekali tidak mendapat perhatian dalam hal pendidikan, selain akses menuju kesana sulit dijangkaum. Hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki berhari-hari. Proses belajar mengajar yang jauh dari standar kualitas, menjadi perhatian utama baik dari dinas terkait dan peran masyarakat.
Hampir 73 siswa-siswi mulai dari kelas 1 dan kelas 6 hanya mendapat jatah satu jam saja setiap harinya, mengingat kurangnya tenaga pengajar yang hanya ada satu guru saja. Yuli Lilihata misalnya, adalah potret tenaga pengajar honorer yang mendapat upah Rp. 300.000/ bulan harus rela berlarian dari kelas yang satu ke kelas yang lain.
Dalam pembagian jam belajarpun Yuli, harus memanfaatkan jam belajar yang singkat. Tak ayal tugas membaca dan mengerjakan soal-soal yang ada di dalam buku menjadi menu andalan ketika mengajar. Tentunya hal ini sangat tidak imbang dengan tingkat pemahaman para siswa yang hanya mendapat sedikit penjelasan mengenai materi pelajaran.
Hanya ada sedikit perlakuan istimewa pada siswa kelas enam mengenai jam belajar, mengingat siswa pada kelas ini harus bisa lulus ujian nasional guna melanjutkan ke tingkat pendidikan berikutnya. “saya harus mondar-mandir ke setiap kelas, agar bisa mengawasi murid ini. Tapi mau bagaimana lagi, asal kita ikhlas melakukannya pekerjaan ini terasa ringan” ucap Yuli yang sudah mengajar sekolah ini hampir delapan tahun.
Minimnya fasilitas, terbatasnya buku pelajaran dan ruangan kelas seadanya tidak menyurutkan minat belajar para siswa SD YPPK Manusela melawan buta huruf dan melek ilmu pengetahuan. “sebenarnya di sekolah ini ada tiga guru lain yang membantu, tapi sekarang tidak lagi. Karena mereka sudah mendapat Surat Keputusan dari Dinas Pendidikan dan sudah menjadi Pegawai Negri Sipil dan mereka meninggalkan sekolah kemudian menetap di daerah pesisir dan tidak mau lagi kembali mengajar , jadi setiap bulan meraka hanya ambil gaji saja”. Tambah Yuli bercerita.
Kurangnya pengawasan dan tanggung jawab terhadap tenaga pengajar di daerah pedalaman menjadi masalah serius yang harus segera di tangani pemerintah, begitu juga dengan peran tanggung jawab guru yang sudah berstatus PNS.
Hal yang sama turut dirasakan oleh desa tetangga Manusela yakni Maraina. Salamoni Rehena (52) selaku guru dari enam kelas Sekolah Dasar Negri Maraina yang juga merangkap sebagai kepala sekolah selalu melantangkan suaranya pada setiap kampanye pemiilihan kepala daerah. “Kami orang gunung sudah mendiami tanah ini puluhan tahun, namun yang tercantum hanya namanya saja. Soal kesetaraan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat kami masih tertinggal jauh. Biar Negara ini sudah merdeka, kami orang gunung belum merdeka”. Tutur Rehena, dengan jelas.
Meski bantuan datang dari berbagai pihak terkait dengan pengadaan fasilitas belajar mengajar berupa alat peraga tidak bisa di pakai. “Sekolah kami hanya ada satu guru saja, dan tingkat penguasaan terhadap alat peraga kami juga tidak begitu mengerti dengan jelas”. Keluh Rehena. Yang berlatar belakang guru rohani.
Kondisi tenaga pengajar yang sudah mendapatkan SK Bupati dan
berstatus PNS tidak lagi kepada fungsi dan tanggung jawabnya terhadap tugas penyampai ilmu pengetahuan. Banyak dari mereka turun gunung dan lebih memilih menetap di daerah pesisir. Selain itu, keterbatasan sumber daya manusia terhadap penguasaan materi kurikulum guru seadanya, sehingga proses penyampaian materi pembelajaran dirasa kurang maksimal.
Butuh Perhatian dan Tindakan
Polemik permasalahan sarana belajar mengajar dan kurangnya tenaga pengajar di daerah pedalaman seperti Dusun Manusela dan maraina perlu mendapat pengawasan yang ketat dari berbagai instansi dinas terkait dan masyarakat selaku orang tua murid.
Tentunya hal ini berkaitan dengan semboyan pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara yakni, Tut Wuri Handayani. Terlepas dari itu, peran dinas pendidikan provinsi dan kabupaten harus melakukan evaluasi terhadap tenaga pengajar yang sudah diangkat menjadi Pegawai Negri Sipil berdasarkan surat Keputusan Bupati setempat. Tujuannya agar kedisiplinan dan tanggung jawab terhadap tugasnya semakin baik. Sehingga permasalahan dunia pendidikan bagi orang pedalaman sejajar dengan yang ada di kota-kota besar.
Melihat kondisi pendidikan seperti ini sebuah komunitas bernama 1 Buku untuk Indonesia berusaha menggerakan peran masyarakat Indonesia dan dinas terkait untuk menyalurkan buku pelajaran. Meski dengan buku bekas pakai, namun layak baca dan memenuhi syarat kurikulum pendidikan 2011/2012.
Program mengenai komunitas ini menitikberatkan kegiatannya kepada sekolah yang berada di pelosok daerah. Hal ini dikarenakan, hampir dari seluruh sekolah yang berada di pedalaman cenderung kekurangan dalam soal fasilitas belajar mengajar.
Tak kurang dari seribu buku dan berbagai macam perlengkapan alat tulis dibagikan kepada dua desa yakni Manusela dan Maraina yang berada di Taman nasional Manusela. Dalam menjalankan program ini, komunitas satu buku yang di gagas oleh komunitas petualang Aku Cinta Indonesia melibatkan banyak pihak, diantaranya Kodam Pattimura XVI Ambon seebagai fasilitator dalam program mencerdaskan anak bangsa sebagai bentuk pengabdian kepada Negara, selain itu Syarif Assegaf selaku Wakil Gubernur yang merespon positif sekaligus terkejut mendengar kondisi pendidikan di pedalaman Pulau Seram, Abdul Kadir selaku Kepala Dinas Pendidikan tingkat Provinsi yang ikut andil dalam program mencerdaskan bangsa. (dharma)
memang sarana dan prasarana pendidikan di indonesia masih kurang, guru lebih banyak terkonsentrasi di kota besar daripada di pelosok hemm,,
BalasHapus