Lintang adalah satu dari sepuluh bocah SD dan SMP yang belajar dalam satu ruang kelas yang jauh dari layak. Sepuluh bocah yang menyebut diri mereka Laskar Pelangi ini punya segudang mimpi dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Film Laskar Pelangi yang diadopsi dari novel dengan judul yang sama karya penulis Andrea Hirata ini mengambil setting desa Gantung di Belitung tahun 1970-an.
Perjuangan berat Lintang dan kawan-kawan dalam meraih mimpi di film bergenre anak-anak ini seolah-olah menggambarkan perjuangan sekelompok siswa para siswa yang tergabung dalam sebuah tim sepakbola yang membawa bendera sekolah mereka, MTs Negeri Pangkal Pinang.
Dengan segala keterbatasan, tim ini punya motivasi tinggi meretas tangga juara di ajang kompetisi Liga Pendidikan Indonesia yang saat ini tengah berlangsung di kota Pangkal Pinang. Sebuah kota yang berjarak 2 jam perjalanan laut dengan kapal cepat dari Belitung, daerah yang menjadi setting lokasi film Laskar Pelangi.
Terletak di kampung Kramat, 2 km dari pusat kota Pangkal Pinang, MTs Negeri ini dihuni oleh tidak kurang dari 700 siswa yang rata-rata bermukin di pelosok desa. “Siswa kami ada yang berasal dari desa Teru yang jaraknya lima kilometer dari sekolah,” kata Risdiyanto, guru olahraga MTsN Pangkal Pinang. Berbeda dengan tokoh Lintang yang harus bersepeda sejauh 80 km ke sekolahnya, para siswa MTsN lebih ‘dimanjakan’ oleh jaman sehingga mereka bisa menggunakan jasa angkutan kota atau sepeda motor bagi yang memilikinya.
Meski didominasi siswa-siswa dari pelosok desa, MTsN Pangkal Pinang termasuk sekolah favorit karena sejumlah prestasi yang diukir dari berbagai kegiatan ekstrakurikuler, termasuk sepakbola. “Banyak siswa kami berasal dari pelosok desa yang memiliki talenta luarbiasa. Kami sebagai guru hanya mengarahkan saja,” sambung Risdiyanto lagi.
Tapi seperti kebanyakan sekolah-sekolah di daerah, MTsN Pangkal Pinang jauh dari fasilitas yang memadai untuk mewadahi talenta-talenta siswanya. Tim sepakbola misalnya, mereka berlatih di lapangan yang jauh dari layak, bahkan seringkali tidak bersepatu karena tidak mampu membeli.
“Selain itu, seringkali kami ketinggalan informasi tentang berbagai turnamen, meskipun kami ikut akhirnya kami tampil dengan persiapan seadanya,” ujar guru olahraga yang akrab disapa ‘Pak Ris’ oleh siswanya. Ris menduga, kendala informasi ini tidak lepas dari status sekolahnya yang berbasis agama di bawah naungan Departemen Agama. Sementara banyak kegiatan turnamen digelar oleh departemen Diknas.
Kondisi itupula yang membuat sekolah ini nyaris gagal tampil di liga pendidikan tahun ini karena dispora Pangkal Pinang sempat mengumumkan sekolah yang boleh tampil hanya yang berada dinaungan kementerian pendidikan nasional.
Namun fakta berbicara lain, di saat-saat akhir undangan melayang ke sekolah ini sehingga MTsN Pangkal Pinang bisa ikut meski dengan persiapan seadanya karena mepetnya waktu. “Karena persiapan sangat singkat, kami hanya bermodal tekad, semangat dan talenta sepakbola dari murid-murid kami untuk tampil di liga pendidikan ini,” katanya.
Penampilan eksplosif MTsN Pangkal Piang tidak lepa dari sosok Loviansyah. Pemain yang baru duduk di bangku kelas dua kelahiran Bangka Selatan 8 Juli 1998 ini sudah menyumbang 3 gol, padahal Lovi, panggilannya, berposisi sebagai sayap kiri. “Anak ini punya kecepatan karena dia memang atlet lari nomor 100 meter binaan pencab PASI Pangkal Pinang. Kami memang mengandalkan dia,” kata Risdiyanto tentang Loviansyah.
Meski masih menyisakan empat laga lagi di grup 1 tingkat SMP, Ridiyanto sudah mengusung target lolos ke tingkat provinsi. “Kami yakin bisa karena saya percaya dengan kualitas murid-murid saya.”
Keterbatasan kerap melahirkan motivasi yang kejutan. Dengan latar belakang yang nyaris sama, spirit Laskar pelangi bisa jadi menyusup di dada para siswa MTsN Pangkal Pinang untuk meraih mimpi. (Dharma)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar