Jalur pendakian menuju puncak Gunung Binaiya ternyata memiliki keunikan tersendiri. Vegetasi hutan tropis yang berselimut dengan lumut membuat areal disekitarnya terasa lembab. Jalan setapak dengan kemiringan hampir 80 derajat menjadi tantangan terbesar bagi para pendaki yang hendak meraih puncak Nusa Ina. Tidak ada jalur rata dan sumber mata air, daya tahan fisik dan semangat sebagai modal utama dalam menapaki puncaknya.
Banyak dari beberapa jalur yang hampir sama dan membingungkan, tak ayal beberapa diantara kami termasuk saya tersesat ketika mendaki. Hal ini dikarenakan bentuk pepohonan yang hampir sama dan minimnya String Line (Sebuah tanda pada jalur pendakian). Minimnya tanda-tanda tersebut sangat membahayakan, karena itu kami harus berjalan bersamaan dan rajin menghitung jumlah orang dalam pendakian ini.
Sesekali kami harus mengikuti ritme para pendamping yang berjalan cepat dan sering kali harus sabar menunggu beberapa teman yang kelelahan. Tanda-tanda pada jalur tidak sebagaimana mestinya penunjuk arah seperti di jalan raya perkotaan. Tali rafia, pita dan coakan pada batang pohon yang menjadi penuntun arah jalurnya. Butuh kejelian mata dalam berjalan, tentunya hal ini sangat berisiko bagi kami dan para pendaki lainnya.
Kram pada paha kaki menjadi momok menakutkan dalam perjalanan ini, beruntung kami semua diberikan kekuatan untuk terus berjalan. Mamay, salah satu pendamping kami terkena penyakit ini. Dirinya menceritakan sudah hampir empat tahun mengalami kram paha sejak mengikuti pendakian massal ke Gunung Cartenz, Papua.
Meski tenaga habis terkuras, namun rasa puas ketika melihat vegetasi hutan mulai terbuka. Artinya kami sudah semakin dekat dengan puncak. Ini ditandai dengan pepohonan di sekitar tidak terlalu tinggi dan tidak rapat. Batuan karts yang berselimut kabut seolah menunjukan keindahannya secara perlahan. Belum lagi lumut-lumut yang menggantung dan berwarna putih kehijauan sebagai interior alam dari ciptaan yang maha kuasa.
Inilah Binaiya, meski jalur pendakiannya ganas namun memiliki keindahan alam beserta panoramanya dengan rendah hati.
Banyak dari beberapa jalur yang hampir sama dan membingungkan, tak ayal beberapa diantara kami termasuk saya tersesat ketika mendaki. Hal ini dikarenakan bentuk pepohonan yang hampir sama dan minimnya String Line (Sebuah tanda pada jalur pendakian). Minimnya tanda-tanda tersebut sangat membahayakan, karena itu kami harus berjalan bersamaan dan rajin menghitung jumlah orang dalam pendakian ini.
Sesekali kami harus mengikuti ritme para pendamping yang berjalan cepat dan sering kali harus sabar menunggu beberapa teman yang kelelahan. Tanda-tanda pada jalur tidak sebagaimana mestinya penunjuk arah seperti di jalan raya perkotaan. Tali rafia, pita dan coakan pada batang pohon yang menjadi penuntun arah jalurnya. Butuh kejelian mata dalam berjalan, tentunya hal ini sangat berisiko bagi kami dan para pendaki lainnya.
Kram pada paha kaki menjadi momok menakutkan dalam perjalanan ini, beruntung kami semua diberikan kekuatan untuk terus berjalan. Mamay, salah satu pendamping kami terkena penyakit ini. Dirinya menceritakan sudah hampir empat tahun mengalami kram paha sejak mengikuti pendakian massal ke Gunung Cartenz, Papua.
Meski tenaga habis terkuras, namun rasa puas ketika melihat vegetasi hutan mulai terbuka. Artinya kami sudah semakin dekat dengan puncak. Ini ditandai dengan pepohonan di sekitar tidak terlalu tinggi dan tidak rapat. Batuan karts yang berselimut kabut seolah menunjukan keindahannya secara perlahan. Belum lagi lumut-lumut yang menggantung dan berwarna putih kehijauan sebagai interior alam dari ciptaan yang maha kuasa.
Inilah Binaiya, meski jalur pendakiannya ganas namun memiliki keindahan alam beserta panoramanya dengan rendah hati.
mas, boleh minta info utk pendakian binaiya? trims :)
BalasHapus