Senin, 31 Januari 2011

Telusur Karang Rancabuaya


Garut tidak hanya dikenal sebagai daerah agrowisata, banyak titik temu keindahan yang menjajakan kei
n
dahannya berupa gunung, sawah dan
bukit berkelok-kelok. Salah satunya pantai
Rancab
uaya yang terletak 170 kilometer dari Kota Bandung.

Deng
an menempuh perjalanan selama lima jam dari Jakarta, keindahan yang
perlahan sembunyi mulai menunjukan keindahannya. Meski hars melewati jalan berkelolok dan berlubang.

Ironisnya
, keindahan tersebut tidak didukung dengan infrastruktur yang tidak didukung dengan pemda sete
mp
at, terkait dengan pembangunan jalan dan rambu lalu lintas. Seh
ingga h
al ini menjadi salah satu penyebab wisatawan baik lokal dan
mancanegara enggan singgah di sana.

Kendati demikian, panorama yang ditawarkan menjadi obat lelah dan tentu
nya tidak mengecewakan.
Seperti di kawas
an Patenggang, yang menampilkan perkebunan teh hijau yang nampak indah dan asri. Dan perbukitan di wilayah Naringgul yang sejuk dan segar. Dari kejauhan nampak laut biru membentang luas di pelupuk mat
a, mengobati lamanya perjalanan.

Sesampainya di pantai semilir angin laut mengusir lelah sepanjang
perjalanan. Deburan ombak dan riak air laut yang kehijauan karena bias warna lumut dan rumput laut menarik para pengunjung untuk menjejakkan kakinya di pantai.

Beberapa tempat penginapan nampak berjejer di sekitar pantai dengan tarif yang beragam mulai dari Rp 50.000 per malam.

Ironisnya lagi, kawasan pantai makin terpuruk oleh buruknya
pengelolaan infrastruktur yang tidak profesional, seperti jalanan rusak, keterbatasan tempat sampah, serta penginapan yang tak tertata rapi patut untuk menj
adi perhatian pemda setempat untuk dapat menarik minat wisatawan berkunjung ke pantai rancabuaya.

Meski begitu, tidak sedikit wisatawan yang datang dan pergi dan datang kembali untuk menikmati pano
rama karang pantai dan lembah perjalanan di tengah hutan yang menyuguhkan nuansa backpakers (Moni Moon/dharma/Prasetyo Bangun)



Selasa, 25 Januari 2011

Mungkin tuhan telah bosan

Melihat tingkah laku kita

Yang selalu salah

Dan bangga dengan dosa-dosa ...

Ebiet G Ade

(Ebiet G Ade, Berita Kepada Kawan)


Bencana Di Dataran Khalustiwa

Belum lengkap penderitaan ini berakhir, seusai tsunami di Banda Aceh tahun 2005, disusul Gempa bumi di Mentawai 29 Oktober 2010, Tak lama berselang, jauh di sebelah timur Indonesia daerah Wasior, Papua makin terpuruk oleh banjir bandang dan tanah longsor yang meratakan satu desa pada 30 Oktober 2010. Dilanjut dengan gempa yang mengguncang Jogja dan Bantul 9

November 2010.

Bahkan jelang pergant

ian tahun, Erupsi Gunung Merap

i kembali mangguncang Jawa Tengah untuk kedua kalinya.Hingga berdampak mematikan lahan pertanaian dan peternakan masyarakat sekitar. Debu vulkanik mengguyur semua harta benda tanpa pilih kasih. Hingga ber

akhir dengan kesengsaraan yang berkepanjangan.

Belum lagi ditambah dengan aliran lahar dingin pasca letupan Gunung Merapi melalui aliran sungai yang berdampak besar bagi warga desa dan kota. Segala usaha, termasuk pemasangan Brojong (anyaman kawat besi yang berisi batu) tidak bisa mecegah derasnya aliran lumpur dan meluap hingga menutup jalan.

Hal ini menyebabkan masyar

akat kecil yang berada disekitar kawasan Gunung Merapi hanya bisa berlari dan merenungi nasib dengan raut muka yang tampak sedih karena banyak kehilangan hewan ternak dan perkebunan yang mungkin sebentar lagi panen.

Mereka hanya bisa pasrah menerima musibah ini sebagai sebuah pelajaran yang sangat berharga, yakni betapa besar kuasa tuhan atas segala ciptaannya. Hanya dengan sekejab debu vulkanik menutupi satu daerah.

Mbah Maridjan, yang dianggap juru kunci Gunung Merapi pun tidak bisa berbuat banyak untuk menenangkan lahar panas dan hemburan pasir yang terbang bebas dan hinggap menutup hampir sebagian daerah seperti Klaten, Jogja, Bantul dan beberapa daerah sekitarnya.

Hingga suatu masa Mbah Maridjan mengambil langkah berani yang tidak mungkin bisa dilakukan semua orang kecuali Tuhan. Dirinya mengambil langkah berani untuk kedua kalinya untuk bertapa di kawasan Gunung Merapi. Namun apa daya kuasa Tuhan memang tidak bisa dilangkahi begitu saja dengan sebuah ritual pertapaan dan berakhir kematian bagi sosok yang dianggap kramat bagi masyarakat Jawa.

Usai erupsi berakhir dan masyarakat yang mengunggsi mulai membangun kehidupan baru, kawasan yang sudah tidak hijau ini menjadi sebuah wisata dan menjadi tontonan yang menarik. Tidak sedikit sebagian masyarakat datang untuk melihat kesedihan dan tangis pengungsi yang masih dirundung duka mendalam.

Belum berakhir semua penderitaan tersebut Indonesia kembali diguncang dengan semburan Gunung Bromo yang tak jua reda. Hampir seluruh kawasan hijau tersebut mati secara perlahan. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan pasir berwarna abu-abu kelam.

Sudah hampir satu bulan semburan pasir tersebut tak kunjung usai. Pagi, siang dan malam terus

melontarkan debu lebih dari seribu meter dari mulut kawah. Tak berbeda jauh dengan erupsi Merapi yang meluluh-lantahkan jalan dan berbagai aktifitas masyarakat.

Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo yang sebelumnya ramai dikunjungi wisatawan, kini seperti lautan pasir yang tak seorang pun berada disekitarnya. Tidak ada pelancong, tidak ada tawa lepas wisatawan diatas kuda dan menantikan matahari terbit di puncak Pananjakan. Tidak ada mobil jeep yang membawa pendaki untuk menjajaki puncak Semeru, Bromo dan Tenger.

Hingga kini warga hanya bertahan dengan mengandalkan sisa-sisa tabungan dan hasil perkebunan yang masih bisa dimakan untuk menyampung kehidupan sehari-hari.

Dosa besar apa yang terus menghujani bangsa ini dengan musibah dan maksiat apa yang telah tumbuh dan merajalela di tanah subur Indonesia hingga bencana beruntun datang seperti tak kenal lelah.

Mungkinkah kita sudah lupa untuk mengangkat kedua tangan sekedar untuk meminta ampunan dosa yang sudah dilakukan. Mungkinkah kita sudah semakin sombong dengan kemewahan dan kehidupan berkecukupan. Mungkinkah pula tuhan sudah lupa dengan kita yang bergelimang dosa.

Mungkin saja kita belum bosan dengan segala bencana yang menimpa daratan khatulistiwa. Semoga segala ketamakan dan kesombongan tidak melupakan kita sebagai makhluk hina dihadapan tuhan, semoga …(dharma)