Senin, 12 Desember 2011

Menapaki Jalur Pendakian Binaiya

Jalur pendakian menuju puncak Gunung Binaiya ternyata memiliki keunikan tersendiri. Vegetasi hutan tropis yang berselimut dengan lumut membuat areal disekitarnya terasa lembab. Jalan setapak dengan kemiringan hampir 80 derajat menjadi tantangan terbesar bagi para pendaki yang hendak meraih puncak Nusa Ina. Tidak ada jalur rata dan sumber mata air, daya tahan fisik dan semangat sebagai modal utama dalam menapaki puncaknya.

Banyak dari beberapa jalur yang hampir sama dan membingungkan, tak ayal beberapa diantara kami termasuk saya tersesat ketika mendaki. Hal ini dikarenakan bentuk pepohonan yang hampir sama dan minimnya String Line (Sebuah tanda pada jalur pendakian). Minimnya tanda-tanda tersebut sangat membahayakan, karena itu kami harus berjalan bersamaan dan rajin menghitung jumlah orang dalam pendakian ini.

Sesekali kami harus mengikuti ritme para pendamping yang berjalan cepat dan sering kali harus sabar menunggu beberapa teman yang kelelahan. Tanda-tanda pada jalur tidak sebagaimana mestinya penunjuk arah seperti di jalan raya perkotaan. Tali rafia, pita dan coakan pada batang pohon yang menjadi penuntun arah jalurnya. Butuh kejelian mata dalam berjalan, tentunya hal ini sangat berisiko bagi kami dan para pendaki lainnya.

Kram pada paha kaki menjadi momok menakutkan dalam perjalanan ini, beruntung kami semua diberikan kekuatan untuk terus berjalan. Mamay, salah satu pendamping kami terkena penyakit ini. Dirinya menceritakan sudah hampir empat tahun mengalami kram paha sejak mengikuti pendakian massal ke Gunung Cartenz, Papua.

Meski tenaga habis terkuras, namun rasa puas ketika melihat vegetasi hutan mulai terbuka. Artinya kami sudah semakin dekat dengan puncak. Ini ditandai dengan pepohonan di sekitar tidak terlalu tinggi dan tidak rapat. Batuan karts yang berselimut kabut seolah menunjukan keindahannya secara perlahan. Belum lagi lumut-lumut yang menggantung dan berwarna putih kehijauan sebagai interior alam dari ciptaan yang maha kuasa.

Inilah Binaiya, meski jalur pendakiannya ganas namun memiliki keindahan alam beserta panoramanya dengan rendah hati.

Kamis, 01 Desember 2011

Merah Putih di Manusela

Tanpa pembacaan Pancasila, pemimpin upacara, hingga peserta upacara. Merah Putih tetap berkibar diujung tiang. Meski ritual pengibaran bendera ini tidak sesakral seperti di Istana Negara, namun nasionalisme dan kecintaan terhadap negri ini tetap tumbuh dihati anak-anak Sekolah Dasar YPPK Manusela, Pulau Seram, Maluku Tengah.

Seperti biasa, Senin pagi pukul 06.00WITA dilakukan pengibaran bendera merah putih yang berada dihalaman sekolah, kali ini Billy dan Sarfon kebagian giliran sebagai pengibar bendera. Tidak ada yang istimewa dari pengibaran ini, tanpa seragam paskibraka dan pemimpin pengibar bendera.

Dua anak polos dengan rambut plontos ini tidak tahu bagaimana detail prosesi pengibaran bendera, yang mereka tahu Merah Putih harus berada puncaknya setiap hari Senin pagi sebagai tanda aktivitas sekolah dimuali dan diturunkan Sabtu siang ketika jam pelajaran terakhir usai.

Tidak ada yang mengajarkan mereka bagaimana susunan upacara bendera, maklum saja di sekolah hanya ada satu guru yang mengajar enam kelas sekaligus. Wajar jika 60 muridnya kebanyakan tidak tahu bagaimana prosesi pengibaran bendera Sang saka Merah Putih secara baik.

Fenomena seperti ini sangat bertolak belakang dengan kabar di media massa yang membeitakan tentang pelarangan pengibaran bendera merah putih karena di anggap Musrik yang dilakukan dua sekolah di Karang Anyar, Jawa Tengah. Ironisnya sekolah berada ditengah hiruk pikuk kemajuan teknologi.

Sedangkan jauh melintasi pulau dan berada di pedalaman Taman Nasional Manusela, Pulau Seram, Maluku, Anak-anak Manusela merasa yakin kalau pengibaran bendera merah putih sebagai sebuah kebanggan bak pahlawan nasional. Seperti yang diajarkan Yuli Lilihata guru satu-satunya disekolah ini, terhadap sikap nasionalisme dan pahlawan disalah satu pelajaran sekolah.

Cita-cita Sang Pemimpin Dari Manusela

Dusun Manusela yang berada di Pulau Seram, Maluku Tengah optimis untuk ciptakan pemimpin masa depan, tampak sejumlah siswa Sekolah Dasar YPPK Manusela optimis untuk meraih cita-citanya. Meskipun bermodal alat tulis seadanya dan minimnya fasilitas belajar mengajar.

Di sekolah ini pula hanya terdapat satu orang guru dan tidak ada sekolah lanjutan seperti SMP dan SMA. Bahkan siswa kelas VI harus mengikuti ujian nasional di kecamatan Masohi, yang jaraknya puluhan kilometer dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama tiga hari menuju desa Moso. Kemudian menyebrang pulau dengan perahu kecil dengan tarif Rp 20.000 /orang.

Ironis memang, namun mereka tidak bisa berbuat banyak. Demi cita-cita perjalanan panjang menembus hutan harus dilewati. Mungkin timbul pertanyaan besar dalam benak anak-anak polos ini, Siapa yang bertanggung jawab terhadap cita-cita kami ?

Harapan terbesar mereka hanya bisa membaca dan menulis, karena ini menjadi kunci untuk melihat jendela dunia. Sayangnya harapan untuk anak-anak ini terhambat dari pengaruh ekonomi sosial para orang tua, mengingat Dusun Manusela yang jauh dari keramaian tidak bisa memutar roda perekonomian dari hasil kebun dan tanaman lainnya.

Hal ini membuat para orang tua harus berfikir dua kali untuk melanjutkan tingkat pendidikan anaknya. Yuli Lilihata (29) selaku guru sekolah satu-satunya mengatakan, kebanyakan para orang tua tidak mampu untuk melanjutkan sekolah anaknya, karena mereka pun tidak ada pemasukan uang. Biar hasil panen Cengkeh, Kasbi (umbi-umbian) dan budidaya Anggrek hutan Manusela tidak bisa dijual. Selain jarak yang jauh ke Moso dan Tehoro hasil yang diterima pun tidak seberapa, hasil panen untuk keperluan makan sehari-hari saja.

"Ada juga beberapa orang tua yang mampu menyekolahkan anaknya hingga ketingkat SMP dan SMA dengan menitipkam n ke family yang ada di kota Ambon, tapi kebanyakan tidak kembali lagi ke Manusela. Sehingga dusun ini selalu kekurangan tenaga ahli yang bisa diharapkan". Tambah Yuli bercerita.

Potret buram pendidikan yang ada di dusun Manusela hanya sebagian kecil dari seluruh sekolah yang berada di daerah pedalaman Indonesia. Keterbatasan fasilitas, sumber daya tenaga didik dan rendahnya sosial ekonomi stasus masyarakat menjadi hambatan. Peran pemerintah dan masyarakat yang peduli terhadap pendidikan sangat dibutuhkan dalam menunjang Indonesia lebih maju.