Senin, 29 Agustus 2011

Mutiara Terpendam di Maluku Utara

Foto : Dharma Wijayanto
Location : P. Dodola, Morotai, Maluku Utara, Indonesia 

Mutiara terpendam itu bernama Dodola
Hamparan pasir putih perlahan menyatu seakan memperlihatkan keindahan Pulau Dodola ketika air laut surut.
 
Sepanjang perjalanan yang tampak terumbu karang alami.





Mutiara itu bernama Dodola. 

Jumat, 19 Agustus 2011

Cerita Ngiprik di Tepi Pantura

Hamparan padi menguning, tanda panen tiba dipertengahan Ramadhan tahun ini di desa Sukamandi, Subang, tepatnya di sepanjang jalur pantai utara jawa (pantura), senyum tipis pemilik lahan diiringi haus keuntungan para tengkulak menjadi potret pergelutan ekonomi tanah air.

Ditengah panen besar, Ibu Siti (70), dipenghujung akhir usianya mengais keberkahan panen musim ini. Dia bersama ibu-ibu lainnya berusaha mengumpulkan sisa-sisa gabah usai penyemaian padi, dengan cara memungut butiran satu-persatu,masyarakat disini biasa menyebutnya Ngiprik. Ironis memang melihatnya, namun untuk memenuhi kehidupannya Siti harus melakukan cara ini untuk makan dan bertahan hidup setelah ditinggal suaminya 20 tahun yang lalu.

Begitu juga dengan ketujuh anaknya yang kian sibuk dengan urusan keluarga masing-masing. Dalam sehari Siti bisa mendapat tiga hingga lima kilogram gabah, jika beruntung dirinya bisa mendapatkan lebih dari itu. satu dua kali, ia pun harus rela pulang dengan tangan kosong apabila sang pemilik lahan dan tengkulak melarang mengambil sisa-sisa gabah yang berjatuhan.

Belum usai semua itu, Siti harus menjemur dan memisahkan gabah menjadi beras yang kemudian dimasak hingga menjadi nasi. Hanya dengan cara ini Siti bisa terus hidup hingga menutup usia.

Bila musim panen usai, Siti kembali menjadi pekerja serabutan. Yakni mengandalkan kebaikan pemilik lahan untuk mencabut rumput liar di sekitar pematang sawah yang luas hektaran, dengan upah Rp.15.000 per hari. Meski pendapatan minim, Siti tetap ikhlas dan tampak menikmatinya walau harus berkelahi dengan panas matahari dan membuat hitam legam kulitnya yang kriput.

Siti hanyalah sepenggal klise dari potret kemiskinan yang terlihat di desa Sukamandi. Pada kenyataannya, hektaran sawah di sepanjang jalur Pantura yang dibangun oleh Herman Willem Deanles tahun 1808, Puluhan bahkan ratusan masyarakat disepanjang jalur ini melakukan hal yang sama seperti Siti.

Fenomena seperti ini seakan mengulang kembali masa suram kolonial belanda, yang pada saat itu memiskinkan masyarakat dengan cara memonopoli hasil bumi dengan cara licik, hal ini hampir sama dengan tengkulak yang haus laba. Sehingga memaksa Siti harus melakukan Ngiprik karena tidak memiliki lahan bertani, selain sepetak tanah yang menjadi tempat tinggal.


Kini Siti dan masyarakat sekitarnya seperti seekor ayam yang kelaparan ditengah lumbung padi. Dimana jalur Pantura menjadi lahan subur dibidang pertanian dan penghubung utama perekonomian antar kota antar provinsi. (Teks :Dharma / Foto: Muni Moon)

Rabu, 10 Agustus 2011

Monkey Business

Monkey Business

Pengais Rejeki Sepanjang 240 Meter

Berdesakan diantara ratusan bahkan ribuan orang yang memasuki lorong besi buatan china, saling sikut dan berebut tempat duduk menjadi klise keseharian sang masinis kereta api. Namun siapa sangka, gerbong sepanjang 204 meter ada pasar rakyat dadakan yang menawarkan aneka dagangan dengan harga cukup murah.

Beragam barang jadi hingga kuliner banyak ditawarkan. tidak heran jika alat transportrasi yang satu ini banyak diminati oleh golongan masyarakat menengah kebawah, sebagai kendaraan favorit untuk kembali ke kampung halaman tercinta.

Intan (22) misalnya, wanita asal Solo yang bekerja sebagai pelayan rumah makan tegal di kawasan jatinegara Jakarta. adalah salah satu penumpang yang selalu setia menggunakan kereta api sebagai jembatan untuk mengobati kerinduannya terhadap kampung halaman yang berjarak puluhan kilometer dari Jakarta. Dirinya rela berdesakan bahkan rela duduk didalam wc yang tepat berada diantara sambungan bongkahan baja tua, manakala tidak kebagian mendapat tempat duduk.

Dengan kehadiran pasar rakyat dadakan, dirinya tidak pernah khawatir jika perutnya keroncongan. Aneka makanan seperti nasi pecel, nasi goreng, nasi uduk lengkap dengan lauk pauknya bisa dibeli dengan merogoh kocek Rp. 3.000 hingga Rp. 5.000. Selain itu banyak dari penumpang yang menyempatkan diri membeli oleh-oleh seperti boneka bahkan telur asin.

Padatnya penumpang, seakan memberikan berkah tersendiri bagi pedagang. Darto (52) misalnya, pria paruh baya asal Kutoharjo yang kesehariannya berada diatas gerbong kereta, dirinya mengaku bisa mengumpulkan biaya untuk modal memberangkatkan anaknya bekerja di Korea sebagai pengasuh bayi.

Begitu juga dengan Mintoharjo dan Fathur rekan seperjuangannya, keduanya bahkan bisa membiayai sekolah anaknya hingga tamat SMA. meski cemoohan sinis dan tuduhan miring seperti copet akrab mereka dengar setiap hari dari mulut penumpang yang duduk lantai karna terinjak ketika dilangkahi.

Diatas kereta yang melaju dengan kecepatan 60-100 Km/jam, para pengais rezeki ini tidak pernah nampak lelah berdiri dan berteriak dari gerbong yang satu ke gerbong lainya. Bagi mereka hanya terpikir bagaimana bisa meningkatkan taraf ekonomi keluarga agar terhindar dari jeratan hutang dan kemiskinan.

Ironisnya, peraturan ketat PT KAI tidak berpihak dengan mereka. Pelarangan dagang didalam kereta seakan menyayat jantung perekonomian mereka. Dengan alasan meresahkan penumpang dan menyebabkan kerugian terhadap karcis kereta yang dijual.

Meski demikian, para pengais rejeki ini tidak kehabisan akal, mereka selalu bermain kucing-kucingan kepada para petugas ketika kereta melaju meninggalkan stasiun.

Bila tertangkap mereka harus rela barang dagangannya disita, jika tidak mau, terpaksa berdamai dengan petugas dengan cara memberikan beberapa lembar uang Rp 5.000 kepada setiap petugas yang bertugas. Bayangkan jika dalam satu hari bertemu tiga sampai lima petugas.

Banyak sebagian dari mereka yang tidak sanggup menyuap petugas, harus loncat dari gerbong kereta ketika melaju, apabila sudah dekat dengan stasiun.

Peraturan ditetapkan, petugas pun main belakang, pedagang kecil dimiskinkkan tanpa ada solusi yang terpikirkan. (dharma)

Selasa, 02 Agustus 2011

Las Vegas di Tempat Peristirahatan Para Raja

Siapa yang tidak kenal dengan Las Vegas, sebuah kota padat penduduk yang mendapat julukan ibukota hiburan dunia. Jika punya uang banyak, Anda akan diperlakukan seperti halnya sang raja. Hal ini hampir mirip dengan Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari yang berada di Surakarta, Solo, Indonesia.

Meski tidak semegah kota paling terang di dunia, THR Sriwedri cukup memberikan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Surakarta. Terbukti berbagai macam hiburan permainan, panggung jenaka dan kerlap kerlip lampu yang menghiasi area bekas tempat peristirahatan keluarga para raja kraton Surakarta.

Begitu juga dengan permainan yang bisa dibilang mirip sekali dengan apa yang ada di Las Vegas, misalnya permainan budaran warna-warni. Pola permainanya pun tidak jauh berbeda dengan dadu putar, dimana pemainnya harus menebak kotak warna yang tersedia di pinggir bundaran dengan menaruh koin khusus yang disediakan oleh pihak pengelola THR Sriwedari. Untuk satu koinnya bisa ditukar dengan uang sebesar Rp.500.

Didalam kotak warna tersebut terdapat berbagai macam jenis hadiah seperti makanan minuman ringan, dispenser, bir, sabun, shampoo dan berbagai macam jenis hadiah lainnya. Sebagai penentu kemenangan dari taruhan yang dipasang, cukup menunggu berhentinya putaran tiang besi pada kotak yang diletakkan koin. Jika tebakan Anda beruntung bisa langsung membawa hadiah yang terdapat dalam kotak warna tersebut.

Selain itu ada juga permainan lempar rotan, dengan menukarkan enam koin, Anda akan mendapatkan tiga buah rotan kecil yang dibentuk lingkaran. Cara bermainya pun sangat mudah, cukup membidik kemudian melemparkanya hingga masuk ke dalam jejeran botol seperti aneka sirop, minuman soda hingga botol bir yang terdapt diarena permainan.

Masih banyak permainan lainnya yang menyerupai Las Vegas, meski sedikit mengandung perjudian. Tempat ini sempat menjadi idola hiburan bagi masyarakat. Bahkan di era 80-an THR Sriwedari menjadi salah satu pusat hiburan yang paling sering dikunjungi. Bisa dibilang, Las Vegas kalah usia dengan tempat ini.

Mulanya tempat ini terinspirasi dari taman surga yang kemudian dibuat oleh kasultanan Paku Buwono ke X sebagai tempat peristirahatan keluarga dan para raja kraton. Seiring perkembangan zaman dan teknologi, tempat ini dirubah menjadi komplek hiburan malam, agar rakyat pada masa itu butuh hiburan, dan tidak menutup kemungkinan rakyat kecil bisa berandai - andai menjadi raja.
(dharma)