Selasa, 26 Juni 2012

Sukhoi Accident













Ipank Lazuardy







Larc n Ciel







Refugee






Makam Karamat Luar Batang











Generasi Keenam Gong Bogor












Di ruangan pengap berukuran sekitar 17 x 20 meter persegi berdinding bata merah, proses pembuatan gamelan degung itu dimulai. Mula-mula lempengan-lempengan perunggu dipanaskan di tungku pembakaran hingga membara. Lalu, secara perlahan ditempa sampai membentuk lingkaran dengan diameter bervariasi tergantung jenis gamelan yang akan dibuat. Misalnya, untuk bonang diameternya 25 cm, kemor 30-35 cm, dan kempul 45-45 cm. 

Para pekerja, dengan upah Rp 35.000 per hari, hanya bertugas membentuk gong mentah. Sedangkan penentuan nada dan bunyinya diserahkan kepada ahlinya, H. Sukarna, pemilik industri rumahan gamelan tersebut. Di bengkel gamelan bernama Gong Factory Home itu, “Cuma Saya yang bisa  membuat gong itu merdu,” kata Sukarna, agak prihatin. Keluarganya, juga ke-14 karyawannya, tak ada yang bisa menguasai ilmu menyetem nada gong.

Untuk membuat seperangkat gong, Sukarna dan karyawannya membutuhkan waktu 2-3 minggu. Gong buatan Sukarna terkenal hingga ke pelosok Nusantara. Banyaknya pesanan datang dari berbagai daerah seperti Lampung, Aceh, Sulawesi, serta Sumatera Utara. Harga seperngkat gong Rp 35-40 juta. Sukarna juga menjual ketengan. Untuk ukuran kecil dengan berat 3 kg dihargai Rp. 900.000, ukuran sedang dengan berat 7 kg dijual  Rp 2 juta, dan yang paling besar harganya mencapai Rp 20 juta dengan berat 20 kg.

Gong Factory Home merupakan usaha turun-temurun, terletak di  Jalan Pancasan, Desa Pasir Jaya, Kotamadya Bogor. Sukarna, 85 tahun, adalah  generasi keenam dari garis keturunan keluarganya yang tetap mempertahankan usaha kerajinan alat kesenian Jawa Barat itu. Menurut Sukarna, di Kabupaten Bogor dulunya ada enam pabrik pembuat gong gamelan degung, namun sekarang tinggal milik Sukarna satu-satunya. “Barangkali cuma saya yang masih bisa dan mau membuat gong seperti ini,” ujar Sukarna..
Ayah tiga anak ini khawatir tidak ada lagi yang bisa membuat alat musik ini. Harapannya bergantung pada putra sulung bernama Krisna yang sudah tujuh tahun belajar membuat gong, tapi sayangnya sampai sekarang belum jua bisa membuat nada yang sesuai. Demi keberlangsungan kehalian ini, Sukarna pun membuka pintu lebar-lebar bagi siapa saja yang ingin belajar membuat gong. Ada yang minat?

Dharma Wijayanto