Senin, 12 Desember 2011

Menapaki Jalur Pendakian Binaiya

Jalur pendakian menuju puncak Gunung Binaiya ternyata memiliki keunikan tersendiri. Vegetasi hutan tropis yang berselimut dengan lumut membuat areal disekitarnya terasa lembab. Jalan setapak dengan kemiringan hampir 80 derajat menjadi tantangan terbesar bagi para pendaki yang hendak meraih puncak Nusa Ina. Tidak ada jalur rata dan sumber mata air, daya tahan fisik dan semangat sebagai modal utama dalam menapaki puncaknya.

Banyak dari beberapa jalur yang hampir sama dan membingungkan, tak ayal beberapa diantara kami termasuk saya tersesat ketika mendaki. Hal ini dikarenakan bentuk pepohonan yang hampir sama dan minimnya String Line (Sebuah tanda pada jalur pendakian). Minimnya tanda-tanda tersebut sangat membahayakan, karena itu kami harus berjalan bersamaan dan rajin menghitung jumlah orang dalam pendakian ini.

Sesekali kami harus mengikuti ritme para pendamping yang berjalan cepat dan sering kali harus sabar menunggu beberapa teman yang kelelahan. Tanda-tanda pada jalur tidak sebagaimana mestinya penunjuk arah seperti di jalan raya perkotaan. Tali rafia, pita dan coakan pada batang pohon yang menjadi penuntun arah jalurnya. Butuh kejelian mata dalam berjalan, tentunya hal ini sangat berisiko bagi kami dan para pendaki lainnya.

Kram pada paha kaki menjadi momok menakutkan dalam perjalanan ini, beruntung kami semua diberikan kekuatan untuk terus berjalan. Mamay, salah satu pendamping kami terkena penyakit ini. Dirinya menceritakan sudah hampir empat tahun mengalami kram paha sejak mengikuti pendakian massal ke Gunung Cartenz, Papua.

Meski tenaga habis terkuras, namun rasa puas ketika melihat vegetasi hutan mulai terbuka. Artinya kami sudah semakin dekat dengan puncak. Ini ditandai dengan pepohonan di sekitar tidak terlalu tinggi dan tidak rapat. Batuan karts yang berselimut kabut seolah menunjukan keindahannya secara perlahan. Belum lagi lumut-lumut yang menggantung dan berwarna putih kehijauan sebagai interior alam dari ciptaan yang maha kuasa.

Inilah Binaiya, meski jalur pendakiannya ganas namun memiliki keindahan alam beserta panoramanya dengan rendah hati.

Kamis, 01 Desember 2011

Merah Putih di Manusela

Tanpa pembacaan Pancasila, pemimpin upacara, hingga peserta upacara. Merah Putih tetap berkibar diujung tiang. Meski ritual pengibaran bendera ini tidak sesakral seperti di Istana Negara, namun nasionalisme dan kecintaan terhadap negri ini tetap tumbuh dihati anak-anak Sekolah Dasar YPPK Manusela, Pulau Seram, Maluku Tengah.

Seperti biasa, Senin pagi pukul 06.00WITA dilakukan pengibaran bendera merah putih yang berada dihalaman sekolah, kali ini Billy dan Sarfon kebagian giliran sebagai pengibar bendera. Tidak ada yang istimewa dari pengibaran ini, tanpa seragam paskibraka dan pemimpin pengibar bendera.

Dua anak polos dengan rambut plontos ini tidak tahu bagaimana detail prosesi pengibaran bendera, yang mereka tahu Merah Putih harus berada puncaknya setiap hari Senin pagi sebagai tanda aktivitas sekolah dimuali dan diturunkan Sabtu siang ketika jam pelajaran terakhir usai.

Tidak ada yang mengajarkan mereka bagaimana susunan upacara bendera, maklum saja di sekolah hanya ada satu guru yang mengajar enam kelas sekaligus. Wajar jika 60 muridnya kebanyakan tidak tahu bagaimana prosesi pengibaran bendera Sang saka Merah Putih secara baik.

Fenomena seperti ini sangat bertolak belakang dengan kabar di media massa yang membeitakan tentang pelarangan pengibaran bendera merah putih karena di anggap Musrik yang dilakukan dua sekolah di Karang Anyar, Jawa Tengah. Ironisnya sekolah berada ditengah hiruk pikuk kemajuan teknologi.

Sedangkan jauh melintasi pulau dan berada di pedalaman Taman Nasional Manusela, Pulau Seram, Maluku, Anak-anak Manusela merasa yakin kalau pengibaran bendera merah putih sebagai sebuah kebanggan bak pahlawan nasional. Seperti yang diajarkan Yuli Lilihata guru satu-satunya disekolah ini, terhadap sikap nasionalisme dan pahlawan disalah satu pelajaran sekolah.

Cita-cita Sang Pemimpin Dari Manusela

Dusun Manusela yang berada di Pulau Seram, Maluku Tengah optimis untuk ciptakan pemimpin masa depan, tampak sejumlah siswa Sekolah Dasar YPPK Manusela optimis untuk meraih cita-citanya. Meskipun bermodal alat tulis seadanya dan minimnya fasilitas belajar mengajar.

Di sekolah ini pula hanya terdapat satu orang guru dan tidak ada sekolah lanjutan seperti SMP dan SMA. Bahkan siswa kelas VI harus mengikuti ujian nasional di kecamatan Masohi, yang jaraknya puluhan kilometer dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama tiga hari menuju desa Moso. Kemudian menyebrang pulau dengan perahu kecil dengan tarif Rp 20.000 /orang.

Ironis memang, namun mereka tidak bisa berbuat banyak. Demi cita-cita perjalanan panjang menembus hutan harus dilewati. Mungkin timbul pertanyaan besar dalam benak anak-anak polos ini, Siapa yang bertanggung jawab terhadap cita-cita kami ?

Harapan terbesar mereka hanya bisa membaca dan menulis, karena ini menjadi kunci untuk melihat jendela dunia. Sayangnya harapan untuk anak-anak ini terhambat dari pengaruh ekonomi sosial para orang tua, mengingat Dusun Manusela yang jauh dari keramaian tidak bisa memutar roda perekonomian dari hasil kebun dan tanaman lainnya.

Hal ini membuat para orang tua harus berfikir dua kali untuk melanjutkan tingkat pendidikan anaknya. Yuli Lilihata (29) selaku guru sekolah satu-satunya mengatakan, kebanyakan para orang tua tidak mampu untuk melanjutkan sekolah anaknya, karena mereka pun tidak ada pemasukan uang. Biar hasil panen Cengkeh, Kasbi (umbi-umbian) dan budidaya Anggrek hutan Manusela tidak bisa dijual. Selain jarak yang jauh ke Moso dan Tehoro hasil yang diterima pun tidak seberapa, hasil panen untuk keperluan makan sehari-hari saja.

"Ada juga beberapa orang tua yang mampu menyekolahkan anaknya hingga ketingkat SMP dan SMA dengan menitipkam n ke family yang ada di kota Ambon, tapi kebanyakan tidak kembali lagi ke Manusela. Sehingga dusun ini selalu kekurangan tenaga ahli yang bisa diharapkan". Tambah Yuli bercerita.

Potret buram pendidikan yang ada di dusun Manusela hanya sebagian kecil dari seluruh sekolah yang berada di daerah pedalaman Indonesia. Keterbatasan fasilitas, sumber daya tenaga didik dan rendahnya sosial ekonomi stasus masyarakat menjadi hambatan. Peran pemerintah dan masyarakat yang peduli terhadap pendidikan sangat dibutuhkan dalam menunjang Indonesia lebih maju.

Minggu, 02 Oktober 2011

60 Petualang Nyatakan Semangat

Seruan dari Sabang sampai Marauke, mulai Miangas hingga Pulau Rote, seakan menjadi pengobar semangat 60 petualangan ACIdetik.com yang menyatakan siap meraba rimba Tanah Air. Berbekal dengan tulisan dan foto perjalanan dari masing-masing petualang, menjadi bukti bahwa mencintai Indonesia tidak perlu dengan hal besar.

Tawa renyah dan senyum sumringah mewarnai pertemuan 60 orang Petualang aku Cinta Indonesia. Bertempat di Gedung Trans TV, Mampang, Jakarta Selatan. Lepas dari semua rutinitas keseharian dan atribut yang dikenakan melebur dalam kebersahajaan.

Bertempat di ruangan 10x15 meter, kesemuanya hanyut dan larut dalam instruksi panitia ACIdetik.com, meski satu dengan yang lainnya tidak saling mengenal. Pertemuan ini tidak hanya semata ajang kumpul – kumpul saja, melainkan lebih memfokuskan kepada briefing mengenai perjalanan mencintai Indonesia apa adanya.

Satu-persatu para petualang mulai akrab satu sama lain, mungkin bisa dikatakan lebih erat dari sahabat. Bahkan ada beberapa peserta mulai menjalin kerjasama dalam hal bisnis dan perencanaan perjalanan usai program ini.

Perjalanan ini nyatanya tidak hanya sekedar bersenang-senang seperti halnya berwisata usai menjalani aktifitas perkotaan yang membosankan. Nyatanya perjalanan ini mengemban misi besar dalam menanamkan kecintaan terhadap tanah air.

Rasa haru, senang dan bangga melekat erat di benak para petualang ACIdetik.com atas Tanah Air dengan segudang kearifan local, budaya dan berbagai macam sajian potret kehidupan dalam perjalanan nanti. Beragam karakter dari masing-masing peserta menyatu kedalam khazanah sakral pertemuan singkat kali ini. (dharma)

Minggu, 25 September 2011

Bedogol dan Keberadaan Satwanya


Tingkat kemiskinan yang melanda masyarakat di sekitar kawasan hutan konservasi Bedogol, Sukabumi Jawa Barat, memaksa mereka merambah hutan dan memburu satwa liar sebagai mata pencaharian utama dalam menunjang perekonomian. Tentunya hal ini sangat mengancam habitat dan populasi satwa yang berada di ambang kepunahan.

Minimnya pengetahuan mengenai satwa dan pentingnya keberadaan hutan menjadi faktor utama penyebab perburuan dan perusakan alam yang dilakukan oleh warga setempat yang berada disekitar kawasan konservasi.Desa Tangkil misalnya, banyak dari warganya yang menggantungkan hidup dari memburu satwa guna memenuhi permintaan pasar gelap, tidak hanya itu saja, jenis kayu hutan tropis pun menjadi incaran warga. Mengingat kualitas harga kayu sangat mahal dipasaran. hal ini karena jarak antara desa sangat berdekatan dengan kawasan hutan.

Suhay (23), salah satu relawan dari Voulenteer Eagle menceritakan mengenai maraknya perburuan dan pemabalakan hutan di sekitar kawasan konservasi, kami hanya membantu petugas TNGP dalam pengawasan dan pendataan satwa dan tumbuhan. Mengenai penangkapan terhadap pelaku perburuan kami tidak ada kewenangan.

“Pernah beberapa kali, kami bertemu dengan warga desa yang sedang berburu disekitar hutan dan kami menegurnya, lalu yang terjadi malah kami yang ditodongkan dengan senjata laras panjang, jika melawan nyawa kami pun menjadi taruhan. Lain halnya jika kami masuk kehutan bersama dengan petugas”. Tambah Suhay bercerita.  

Mulanya hanya beberapa orang saja yang melakukan kegiatan tersebut, namun seiring dengan permintaan pasar gelap yang secara khusus menjual satwa liar. Warga setempat ikut ramai berburu dan meninggalkan lahan pertaniannya, ditambah lagi dengan iming-iming harga tinggi untuk satu ekor satwa. Makaka misalnya, monyet kecil yang memiliki ekor panjang misalnya yang mencapai Rp.150.000, lain halnya dengan seekor macan tutul yang harganya bisa mencapai satu hingga dua juta rupiah. Sedangkan untuk primata khas Jawa Barat yakni Surili (Presbytis Comata) dijual dengan harga Rp 200.000, padahal jenis ini keberadaanya sangat langka dan habitatnya hanya 2.500 ekor.

Lahan konservasi yang berada diketinggian 800 meter diatas permukaan lautn (mdpl), menjadi titik penentu dan pelindung bagi kehidupan satwa seperti Elang jawa, Macaca, Surili, Macan tutul, Lutung, Owa Jawa dan Kukang disekitar kawasan Bedogol. Mengingat rusaknya hutan oleh para pembalak liar dan pendaki gunung illegal, memaksa satwa ini harus turun hutan. Sebelumnya satwa-satwa ini hidup dan tinggal di ketinggian 2.000 Mdpl.   

Minimnya pengawasan dan penjagaan terhadap lahan konservasi membuat peluang bagi pemburu dan pembalak hutan untuk terus melakukan aksi negatif. Bagaimana tidak, lahan konservasi Bedogol yang memiliki luas 200 hektar hanya dijaga oleh enam petugas dari dinas Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGP), “itu pun jarang melakukan pengawasan, hanya datang ke pos jaga dan mengisi absen saja”. Tambah Suhay.

Kondisi seperti ini terus memaksa para relawan untuk terus melakukan pencegahan dan mensosialisasikan kepada warga sekitar kawasan konservasi untuk tidak melakukan kegiatan tesebut. Hingga saat ini, kawasan konservasi Bedogol masih menjadi incaran warga dalam kegiatan berburu dan perambahan hutan. 

Sosialisasi Tak Berjalan Lancar

Gerakan terhadap kondisi ini, memaksa Voulenter Eagle ikut andil dalam mensosialisasikan kepada masyarakat, mengenai pentingnya kelestarian hutan dan habitat didalamnya. berbagai aksi mulai dari pengenalan lingkungan hingga memberikan solusi terbaik untuk tidak berburu misalnya seperti pemberian hewan ternak.

Seiring dengan berjalanya proses sosialisasi, para voulenter nyatanya tidak disambut baik oleh masyarakat Desa Tangkil yang lokasinya hanya beberapa kilometer dari kawasan konservasi.

Berbagai ancaman lisan dan kekerasan fisik menjadi dilema besar bagi voulenter untuk terus berjuang. Tidak sedikit dari beberapa voulenter terlibat adu mulut dan berakhir pemukulan. Namun kondisi tersebut hanya dianggap sebagai angin saja.

“Pernah dalam dua bulan, kami tidak melakukan kegiatan pemantauan terhadap kawasan konservasi karena mendapat ancaman dari warga” ucap Suhay bercerita.

“Proses sosialiasasi sendiri berlangsung di awal tahun 2005, penyuluhan kepada masyarakat semakin intens, dalam satu bulan dilakukan empat kali penyuluhan. Mulai dari pendekatan, memberikan ternak, hingga bekerja sama dengan dinas keamanan terkait guna merazia senjata api yang digunakan dalam perburuan”. Suhay kembali menambahkan.

Nyatanya langkah tersebut mampu memberikan hasil maksimal bagi kelangsungan hutan konservasi Bedogol. Berdasarkan jurnal laporan Voulenter Eagle, hampir 80% masyarakat Desa Tangkil sudah meninggalkan profesi sebagai pemburu dan lebih banyak beralih menjadi petani dan peternak. (dharma)

Senin, 05 September 2011

Nostalgia Ala Bocah Kampoeng

Hiruk pikuk kota besar selalu identik dengan tingkat stress yang tinggi, lalu pernahkah Anda terbayang untuk mendambakan tempat wisata yang membuat Anda bernostalgia menjadi orang kampung saat masa kecil dahulu ?

Kawasan wisata HB Garden Guesthouse Desa Cinangneng, Bogor, Jawa Barat bisa menjadi pilihan, karena di tempat ini menawarkan konsep yang berbeda dibandingkan tempat wisata alam lainnya. Berbekal dengan keindahan panorama Gunung Salak, hamparan padi sawah yang menguning, udara yang sejuk dan gemericik air sungai yang mengalir mengelilingi kawasan sekitar desa.

Desa wisata kampung Cinangneng ini mulai dikenalkan sebagai tempat pariwisata sejak tahun 1999. Hingga sekarang, kawasan wisata ini menjadi salah satu tempat andalan Kabupaten Bogor sebagai “Penggerak Pariwisata Pedesaan” yang secara resmi diberikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardhika pada tahun 2004.  

Desa kecil yang terletak di sebelah timur Kota Bogor ini pun, masih kental dengan berbagai macam kegiatan tradisional khas Jawa Barat. Salah satunya terkenal dengan kesenian wayang yang terbuat dari daun singkong. Tidak hanya itu saja, anda juga bisa mencoba berbagai macam kegiatan yang bertemakan orang desa. Misalnya seperti memandikan kerbau di pinggir sungai, menanam padi, menjaring ikan di sungai dan belajar tari Jaipong khas Sunda.

Ada yang unik dari kawasan wisata ini, yakni ruang penginapan yang menyatu dengan alam terbuka dan masing-masing kamar dilengkapi dengan teras yang bernuansa desa. Hamparan kebun dan petak-petak padi menjadi cirri khas dari tempat wisata ini. Ketika pagi hari anda bisa merasakan udara sejuk dan berbagai macam kicauan burung yang betengger pada tumbuhan di sekitar. Sedangkan saat malam tiba, anda bisa mendengar bisikan jangkrik dan gemericik air sungai Cinangneng yang deras.

Tidak hanya konsep wisata alam pedesaan yang ditawarkan, di tempat ini juga anda bisa berinteraksi dengan warga pedesaan yang memiliki segudang aktivitas. Anda bisa melihat kerajinan tradisional seperti keranjang yang terbuat dai anyaman bambu serta pembuatan obor dari batok kelapa, melihat secara langsung petani bercocok tanam dan berbagai aktivitas lainnya yang tidak Anda temui di perkotaan.

Segala aktivitas yang terdapat di kawasan wisata ini, bisa menjadi alternative bagi Anda sekeluarga. Bahkan konsep yang ditwarkan, membuat anda merasakan hal yang berbeda dibandingkan tempat pariwisata dan penginapan lainnya. Anda akan merasakan suasana seperti pulang kekampung halaman dan sekaligus mengobati kerinduan saat masa kecil dahulu.  

Kamis, 01 September 2011

Petak-Petak di Balik Jendela

Photo  : Dharma Wijayanto
Lokasi : In flight Maluku - Jakarta





Etalase Pinggir Kota

Photo         : Dharma Wijayanto
Location     : Beiji, Depok, Jawa Barat, Indonesia


Tidak seperti kebanyakan Mall di kota-kota besar yang menawarkan kemewahan dan keindahan etalase produk dagang. Jauh dari semua itu, Mall Rongsok yang berdiri di lahan seluas 800 meter persegi didirikan oleh Nurcholis (43) sebagai pemuas konsumen ekonomi menengah kebawah. Dengan konsep sederhana namun tertata rapih dan apa adanya, Mall yang berada di pinggiran kota Jakarta tepatnya di Beiji, Depok, Jawa Barat jejeran barang bekas yang ditawarkan bisa meraih omset 50 juta/bulan.
 







Senin, 29 Agustus 2011

Mutiara Terpendam di Maluku Utara

Foto : Dharma Wijayanto
Location : P. Dodola, Morotai, Maluku Utara, Indonesia 

Mutiara terpendam itu bernama Dodola
Hamparan pasir putih perlahan menyatu seakan memperlihatkan keindahan Pulau Dodola ketika air laut surut.
 
Sepanjang perjalanan yang tampak terumbu karang alami.





Mutiara itu bernama Dodola. 

Jumat, 19 Agustus 2011

Cerita Ngiprik di Tepi Pantura

Hamparan padi menguning, tanda panen tiba dipertengahan Ramadhan tahun ini di desa Sukamandi, Subang, tepatnya di sepanjang jalur pantai utara jawa (pantura), senyum tipis pemilik lahan diiringi haus keuntungan para tengkulak menjadi potret pergelutan ekonomi tanah air.

Ditengah panen besar, Ibu Siti (70), dipenghujung akhir usianya mengais keberkahan panen musim ini. Dia bersama ibu-ibu lainnya berusaha mengumpulkan sisa-sisa gabah usai penyemaian padi, dengan cara memungut butiran satu-persatu,masyarakat disini biasa menyebutnya Ngiprik. Ironis memang melihatnya, namun untuk memenuhi kehidupannya Siti harus melakukan cara ini untuk makan dan bertahan hidup setelah ditinggal suaminya 20 tahun yang lalu.

Begitu juga dengan ketujuh anaknya yang kian sibuk dengan urusan keluarga masing-masing. Dalam sehari Siti bisa mendapat tiga hingga lima kilogram gabah, jika beruntung dirinya bisa mendapatkan lebih dari itu. satu dua kali, ia pun harus rela pulang dengan tangan kosong apabila sang pemilik lahan dan tengkulak melarang mengambil sisa-sisa gabah yang berjatuhan.

Belum usai semua itu, Siti harus menjemur dan memisahkan gabah menjadi beras yang kemudian dimasak hingga menjadi nasi. Hanya dengan cara ini Siti bisa terus hidup hingga menutup usia.

Bila musim panen usai, Siti kembali menjadi pekerja serabutan. Yakni mengandalkan kebaikan pemilik lahan untuk mencabut rumput liar di sekitar pematang sawah yang luas hektaran, dengan upah Rp.15.000 per hari. Meski pendapatan minim, Siti tetap ikhlas dan tampak menikmatinya walau harus berkelahi dengan panas matahari dan membuat hitam legam kulitnya yang kriput.

Siti hanyalah sepenggal klise dari potret kemiskinan yang terlihat di desa Sukamandi. Pada kenyataannya, hektaran sawah di sepanjang jalur Pantura yang dibangun oleh Herman Willem Deanles tahun 1808, Puluhan bahkan ratusan masyarakat disepanjang jalur ini melakukan hal yang sama seperti Siti.

Fenomena seperti ini seakan mengulang kembali masa suram kolonial belanda, yang pada saat itu memiskinkan masyarakat dengan cara memonopoli hasil bumi dengan cara licik, hal ini hampir sama dengan tengkulak yang haus laba. Sehingga memaksa Siti harus melakukan Ngiprik karena tidak memiliki lahan bertani, selain sepetak tanah yang menjadi tempat tinggal.


Kini Siti dan masyarakat sekitarnya seperti seekor ayam yang kelaparan ditengah lumbung padi. Dimana jalur Pantura menjadi lahan subur dibidang pertanian dan penghubung utama perekonomian antar kota antar provinsi. (Teks :Dharma / Foto: Muni Moon)

Rabu, 10 Agustus 2011

Monkey Business

Monkey Business

Pengais Rejeki Sepanjang 240 Meter

Berdesakan diantara ratusan bahkan ribuan orang yang memasuki lorong besi buatan china, saling sikut dan berebut tempat duduk menjadi klise keseharian sang masinis kereta api. Namun siapa sangka, gerbong sepanjang 204 meter ada pasar rakyat dadakan yang menawarkan aneka dagangan dengan harga cukup murah.

Beragam barang jadi hingga kuliner banyak ditawarkan. tidak heran jika alat transportrasi yang satu ini banyak diminati oleh golongan masyarakat menengah kebawah, sebagai kendaraan favorit untuk kembali ke kampung halaman tercinta.

Intan (22) misalnya, wanita asal Solo yang bekerja sebagai pelayan rumah makan tegal di kawasan jatinegara Jakarta. adalah salah satu penumpang yang selalu setia menggunakan kereta api sebagai jembatan untuk mengobati kerinduannya terhadap kampung halaman yang berjarak puluhan kilometer dari Jakarta. Dirinya rela berdesakan bahkan rela duduk didalam wc yang tepat berada diantara sambungan bongkahan baja tua, manakala tidak kebagian mendapat tempat duduk.

Dengan kehadiran pasar rakyat dadakan, dirinya tidak pernah khawatir jika perutnya keroncongan. Aneka makanan seperti nasi pecel, nasi goreng, nasi uduk lengkap dengan lauk pauknya bisa dibeli dengan merogoh kocek Rp. 3.000 hingga Rp. 5.000. Selain itu banyak dari penumpang yang menyempatkan diri membeli oleh-oleh seperti boneka bahkan telur asin.

Padatnya penumpang, seakan memberikan berkah tersendiri bagi pedagang. Darto (52) misalnya, pria paruh baya asal Kutoharjo yang kesehariannya berada diatas gerbong kereta, dirinya mengaku bisa mengumpulkan biaya untuk modal memberangkatkan anaknya bekerja di Korea sebagai pengasuh bayi.

Begitu juga dengan Mintoharjo dan Fathur rekan seperjuangannya, keduanya bahkan bisa membiayai sekolah anaknya hingga tamat SMA. meski cemoohan sinis dan tuduhan miring seperti copet akrab mereka dengar setiap hari dari mulut penumpang yang duduk lantai karna terinjak ketika dilangkahi.

Diatas kereta yang melaju dengan kecepatan 60-100 Km/jam, para pengais rezeki ini tidak pernah nampak lelah berdiri dan berteriak dari gerbong yang satu ke gerbong lainya. Bagi mereka hanya terpikir bagaimana bisa meningkatkan taraf ekonomi keluarga agar terhindar dari jeratan hutang dan kemiskinan.

Ironisnya, peraturan ketat PT KAI tidak berpihak dengan mereka. Pelarangan dagang didalam kereta seakan menyayat jantung perekonomian mereka. Dengan alasan meresahkan penumpang dan menyebabkan kerugian terhadap karcis kereta yang dijual.

Meski demikian, para pengais rejeki ini tidak kehabisan akal, mereka selalu bermain kucing-kucingan kepada para petugas ketika kereta melaju meninggalkan stasiun.

Bila tertangkap mereka harus rela barang dagangannya disita, jika tidak mau, terpaksa berdamai dengan petugas dengan cara memberikan beberapa lembar uang Rp 5.000 kepada setiap petugas yang bertugas. Bayangkan jika dalam satu hari bertemu tiga sampai lima petugas.

Banyak sebagian dari mereka yang tidak sanggup menyuap petugas, harus loncat dari gerbong kereta ketika melaju, apabila sudah dekat dengan stasiun.

Peraturan ditetapkan, petugas pun main belakang, pedagang kecil dimiskinkkan tanpa ada solusi yang terpikirkan. (dharma)

Selasa, 02 Agustus 2011

Las Vegas di Tempat Peristirahatan Para Raja

Siapa yang tidak kenal dengan Las Vegas, sebuah kota padat penduduk yang mendapat julukan ibukota hiburan dunia. Jika punya uang banyak, Anda akan diperlakukan seperti halnya sang raja. Hal ini hampir mirip dengan Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari yang berada di Surakarta, Solo, Indonesia.

Meski tidak semegah kota paling terang di dunia, THR Sriwedri cukup memberikan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Surakarta. Terbukti berbagai macam hiburan permainan, panggung jenaka dan kerlap kerlip lampu yang menghiasi area bekas tempat peristirahatan keluarga para raja kraton Surakarta.

Begitu juga dengan permainan yang bisa dibilang mirip sekali dengan apa yang ada di Las Vegas, misalnya permainan budaran warna-warni. Pola permainanya pun tidak jauh berbeda dengan dadu putar, dimana pemainnya harus menebak kotak warna yang tersedia di pinggir bundaran dengan menaruh koin khusus yang disediakan oleh pihak pengelola THR Sriwedari. Untuk satu koinnya bisa ditukar dengan uang sebesar Rp.500.

Didalam kotak warna tersebut terdapat berbagai macam jenis hadiah seperti makanan minuman ringan, dispenser, bir, sabun, shampoo dan berbagai macam jenis hadiah lainnya. Sebagai penentu kemenangan dari taruhan yang dipasang, cukup menunggu berhentinya putaran tiang besi pada kotak yang diletakkan koin. Jika tebakan Anda beruntung bisa langsung membawa hadiah yang terdapat dalam kotak warna tersebut.

Selain itu ada juga permainan lempar rotan, dengan menukarkan enam koin, Anda akan mendapatkan tiga buah rotan kecil yang dibentuk lingkaran. Cara bermainya pun sangat mudah, cukup membidik kemudian melemparkanya hingga masuk ke dalam jejeran botol seperti aneka sirop, minuman soda hingga botol bir yang terdapt diarena permainan.

Masih banyak permainan lainnya yang menyerupai Las Vegas, meski sedikit mengandung perjudian. Tempat ini sempat menjadi idola hiburan bagi masyarakat. Bahkan di era 80-an THR Sriwedari menjadi salah satu pusat hiburan yang paling sering dikunjungi. Bisa dibilang, Las Vegas kalah usia dengan tempat ini.

Mulanya tempat ini terinspirasi dari taman surga yang kemudian dibuat oleh kasultanan Paku Buwono ke X sebagai tempat peristirahatan keluarga dan para raja kraton. Seiring perkembangan zaman dan teknologi, tempat ini dirubah menjadi komplek hiburan malam, agar rakyat pada masa itu butuh hiburan, dan tidak menutup kemungkinan rakyat kecil bisa berandai - andai menjadi raja.
(dharma)

Selasa, 26 Juli 2011

Wayang Orang Sriwedari dan Pergolakan Modernisasi

Tidak seperti kebanyakan gedung pementasan seni lainnya di kota-kota besar yang menampilkan nuansa elegan dengan berbagai macam pernak-pernik didalamnya. Panggung pementsan wayang orang yang berada di Jl. Slamet Riyadi, Desa Laweyan, Surakarta yang dibuat oleh kasultanan Paku Buwono ke X pada tahun 1907 tetap mempertahankan ciri kesederhanaan dan konsistensi seni Tanah Jawa meski tergerus arus modernisasi.

Mulanya, ruang teater yang dapat menampung 700 penonton sengaja dibangun sebagai tempat berkumpulnya seniman jawa untuk menuangkan segala bentuk apresiasi dan hasil karya. Salah satunya adalah kesenian wayang orang yang pernah merasakan masa keemasan sekitar than 1990-an.

Dimasa keemasannya tersebut, wayang orang mendapatkan antusias tinggi dari kalangan seniman Indonesia dan masyarakat Indonesia. Tidak jarang turis asing saling berebut kursi dengan penonton lainnya ketika pementasan berlangsung yang dimulai pukul 20.00 sampai 22.00 WIB.

Uniknya dalam pementasannya, lakon dan cerita yang perankan selalu berganti-ganti menurut penangggalan Jawa yakni,Pon,Wage, Kliwon, Legi, Pahing. Hal ini dimaksudkan agar penonton tidak bosan dengan tema cerita yang dibawakan. Selain itu, selama pertunjukan penonton bebas menempati tempat duduk dan tidak ada perlakuan VIP.

Interiornya pun cukup sederhana, sepanjang deratan bangku penonton terdapat beberapa  lukisn raja jawa yang menaiki kereta kencana dan diiringi bala tentara yang berpakain mirip tentara Belanda. Jejeran bangku yang terpasangpun tidak begitu mewah, hanya terbalut busa tipis dana rangka besi sebagai kaki-kakinya. Persis didepan panggung seperangkat alat penabuh gamelan lengkap dengan sinden yang siap mengiringi tembang lakon pertunjukan.

Namun siapa sangka gedung pementasan yang sudah berusia 101 tahun ini mulai ditinggalkan dan tidak lagi dipandang sebagai primadona hiburan rakyat. Terlihat pada setiap jdwal pementasan yakni pada hri Senin, Rabu dan jumat malam banyak para orang tua yang sudah lanjut usia datang kembali ketempat ini, sekedar ingin bernostalgia dan sedikit sekali muda-mudi terlihat.

Tidak hanya itu saja, banyak komedia Srimulat yang merintis kriernya disini. Harga tiketnypun tidak terlalu mahal, cukup merogoh kocek Rp.3.000 bisa menikmti pertunjukan dengan cerita yang kaya akan khazanah budaya dan sejarah Indonesia nan jenaka.
   
Seiring dengan perkembangan modernisasi, kesenin wayang orang secara perlahan ditinggalkan oleh penggemarnya dan para pemainnya yang sudah tidak bisa melakoni tokoh pewayangan karena sudah lanjut usia bahkan ada yang belum sempat mendapat penggantinya hingga akhirnya meninggal dunia.

Masyarakat, khususnya generasi muda saat ini sudah enggan untuk mencintai hasil kebudayaan dan kesenian bngsanya sendiri. Banyak yang tidak peduli dan acuh begitu saja. Hanya segelintir saja yang mau peduli itupun hanya sebatas penelitian atau sekedarnya.

Meski demikian, para seniman wayang orang di taman hiburan rakyat Sriwedari tidak mau terus menerus mengalah dengan modernissi yang menggerogoti warisan budaya Indonesia, bahkan pihak Kraton Surakarta dan pengelola semakin giat mengabdikan dirinya untuk kesenian yang kaya sarat makna cerita kehidupan, menjunjung tinggi kearifan lokal masyarakat Jawa yang tekun, santun, ramah-tamah dalam bersikap dan berbicara. (dharma)

Minggu, 24 Juli 2011

Buku Kecil Untuk Meraih Mimpi

Berawal dari minimnya ilmu pengetahuan dan lahan pertanian tidak terurus, sekelompok pemuda yang mengtasnamakan dirinya Saung Pemuda dari desa Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten berusaha mewujudkan kampung halamannya dengan membuat perpustakaan mini guna melek ilmu pengetahun.

Gagasan untuk membuat perpustakaan ini dilandasi atas dasar kurangnya perhatian pemerintah terhadap fasilitas pendidikan dan dari tenaga ahli dalam hal ilmu pengetahun dan teknologi. Tidak hanya itu saja, mayoritas para remaja setempat yang sudah menyelesaikan pendidikan banyak yang pergi begitu saja dan meninggalkan kampung halaman tercinta, guna memilih hidup di kota besar untuk mengais rezeki. Tentuny ilmu yang didapat selama mengeyam bangku pendidikan ketika di sekolah, ilmu yang didapat menjadi sia-sia dan tidak bisa diterapkan dimasyarakat.

Meski, Desa Cibeber merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam hayati, mulai dari hutan, sawah dan berbagai macam jenis pertanian yang bisa dikembangkan. Seiring dengan kepergian para remaja, lahan subur itu kemudian berubah menjadi lahan yang tidak terawatt. Hanya sebagian kecil saja yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menjalakan roda perekonomian dengan cara bertani.

Tekad untuk membuat perpustakaan di kampung halaman tercinta bukanlah hal mudah dan tidak semudah membalikan telapak tangan. Banyak hambatan dan menemui perdebatan panjang, mulai dari penyediaan tempat, izin kepala desa dan banyak hal lainnya yang bersifat meragukan dari masyarakat desa.

Berkat tekad kuat dan ketekunan, Saung Pemuda mulai menggerakan langkah pertamanya dengan mengkoordinir para remaja yang merantau di Jakarta sebagai motor penggerak dalam mewujudkan perpustakaan. yakni dengan membuat iuran Rp. 10.000 untuk setiap orang dan ditarik satu bulan sekali guna keperluaan pengadaan buku.

Ironisnya, harga buku pelajaran semakin melonjak tinggi, hingga hal ini membuat dana iuran tidak cukup untuk membeli buku-buku pelajaran yang berkualitas. Namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat pejuang ilmu pengetahan untuk mewujudkan komitmennya. Bahkan menjadi pemacu semangat untuk pembuatan ruang ilmu pengetahuan.

Seiring dengan berjalannya waktu, Saung Pemuda menjalin kerjasama dengan Delapan Penjuru, yakni sebuah komunitas petualang yang mendedikasikan kegiatannya untuk mencerdaskan bangsa. Meski bukan kominitas besar, namun tekad dan semangat untuk membuat pendidikan bagi anak-anak pelosok di Indonesia menjadi lebih baik.

Tidak kurang, bahkan lebih dari 1.200 buku layak pakai (bekas) dapat tersalurkan dan dimanfaatkan oleh anak-anak yang berada di daerah perbukitan desa Cibeber. Tanpa biaya yang besar dan memiliki semangat kuat, buku pelajaran yang terdiri dari bebagai ilmu pengetahuan sampai ditujuan, meski harus menempuh jarak ratusan kilometer dari Jakarta.

Niat untuk membangun perpustakaan mini ini merupakan sebuah prestasi yang membanggakan bagi Saung Pemuda dan Delapan Penjuru dalam hal mencerdaskan anak-anak desa pedalaman dibidang pendidikan. Dengan harapan kedepan, anak-anak desa yang tumbuh menjadi remaja tidak perlu lagi mengais rezeki ditanah orang lain, melainkan membaktikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat dan menjadi tuan rumah di kampung halaman tercinta.(dharma)

Selasa, 12 Juli 2011

Masjid Suci Kepulauan Maluku

Maluku memang menyimpan beragam cerita dan segala pernak-pernik wisatanya. Tidak hanya menawarkan panorama pegunungan dan pantai saja, bahkan benteng sisa-sisa penjajahan masih berdiri dengan kokoh dan kekar. Begitu juga dengan penyebaran agama Islam yang ikut andil dalam catatan sejarah panjang di daerah yang mendapat julukan 'Manise'.

Salah satunya adalah Masjid Wapaume. Menurut lagenda, masjid ini dahulunya berada di daerah pegunungan desa Kaitetu, setelah tahun 1414 masjid tersebut berpindah keberadaannya ditengah-tengah desa dengan sendirinya. Pindahnya bangunan masjid diyakini masyarakat karena ada kekuatan supranatural. Namun satu orang pun tidak ada yang tahu siapa yang memindahkannya.
      
Banyak dari masyarakat setempat yang berada di desa Kaiteu beribadah ditempat ini dan menjaga bentuk bangunan seperti aslinya. Terlihat dari dinding Masjid yang terbuat dari batang bambu dengan ornament kaligrafi sedehana di atas kayu ditambah dengan motif ornament khas Maluku.

Uniknya lagi, masyarakat enggan mengganti atap Masjid dengan bahan baku modern dan masih menggunakan daun sagu. Sedangkan pada ujung atapnya terdapat kubah yang dinamakan tugu ‘Alif’. Menurut filosofinya kehadiran Masjid Wapaume adalah masjid pertama di Maluku sekaligus menandakan penyebaran agama Islam sudah sampai di daerah penghasil cengkeh dan pala terbaik. Hal ini sama halnya dengan huruf 'Alif' dalam ejaan huruf Hija'iyah pertama dibaca yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran.
 
Sedangkan disetiap siku masjid tedapat penunjuk arah kiblat yang berisi tulisan Allah dan Muhammad. Tidak hanya itu saja, didalam bangunan tersebut terdapat benda-benda bersejarah lainnya, seperti Al-Quran yang asli ditulis dengan tangan, tongkat imam masjid, bedug yang terbuat dari batang pohon kelapa, lampu minyak yang terbuat dari tembaga dan masih banyak lagi benda sejarah lainnya yang tersimpan di masjid tua wapauwe. 


Untuk berkunjung ke Lokasi Masjid, sebaiknya Anda menjaga kesopanan dalam berpakaian.Tidak jarang wisatawan yang ditegur oleh penjaga masjid karena pakaian yang dikenakan tidak sopan. Dan biasanya pengunjung hanya diperbolehkan melihat sampai batas teras Masjid, kecuali bagi wisatawan yang ingin menunaikan ibadah shalat dan berniat baik ketika berada dilokasi ini. 



Jumat, 01 Juli 2011

Karimunjawa Surga Bagi Para Penyelam

Karimun Jawa, Jawa Tengah – Karimun jawa banyak dikenal oleh sebagian orang sebagai surge para pecinta olahraga Diving. Terlihat dari pesona bawah laut yang masih jarang tersentuh tangan manusia dan pencemaran lingkungan. sehingga para penyelam (Diver) merasa nyaman melakukan kegiatan di bawah laut.

Tidak hanya itu saja, Ikan hias laut seperti Clown Fish, Angel Fish, Coral, Anemon, Teripang dan lain –lain banyak ditemui pada kedalaman lima meter di bawah permukaan laut. Karena keanekaragamannya baharinya tersebut, Jejeran Pulau Karimun Jawa menjadi pusat pehatian wisatawan Lokal dan mancanegara sebagai salah satu refrensi wisata bahari.

Keelokan pesona bawah laut Karimun Jawa ternyata membuat pemerintah Kabupaten Jepara, Jawa Tengah menjadikan tempat ini sebagai Taman nasional pada 15 Maret 2010. Mengingat kawasan ini banyak menyimpan 400 spesies fauna laut, 242 diantaranya adalah ikan hias. Tidak hanya itu saja, di kawasan ini pula menjadi rumah bagi habitat Elang laut dada putih, Penyu Sisik dan Penyu Putih.

Taman Nasional Karimunjawa juga menyimpan keistimewaan tersendiri, tidak jarang wisatawan menyebutnya sebagai ‘Nirwana terpendam’, Karena panorama bawah laut yang indah dan suasana tenang di pesisir pantai. Ditambah lagi dengan deburan ombak yang tidak terlalu besar, menambah cerita saat berkunjung di daerah ini.

Kawasan wisata yang memiliki iklim tropis dan memiliki suhu minimum 22 drajat celcius, memberikan  kesan tersendiri. Dengan berbagai panorama alam tropis dan keindahan bawah laut, berbagai aktivitas seperti memancing, Snorkling, Diving, atau berjemur dapat dilakukan kapan saja. Bahkan ada masyarakat yang menyewakan perahu, yang di tengah badan kapal terdapat kaca tembus pandang ke dasar laut, agar para wisatawan dapat melihat ekosistem di bawah laut.

Pulau karimunjawa sebdiri terdiri dari 27 pulau kecil dan lima buah pulau besar yang berpenghuni, pulau yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan adalah Pulau Menjangan Besar dan Pulau Menjangan Kecil. Kedua pulau tersebut merupakan sumber perekonomian masyarakat setempat. Dimana Pulau Menjangan besar sebagai pusat kerajinan berupa cenderamata dari batu-batuan pantai, tongkat kayu yang terbuat dari bahan kayu nyampulung.

Konon kayu nyamplung adalah jenis pohon yang batangnya dijadikan tongkat oleh Sunan Muria dan kayu tersebut dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai bahan obat-obatan.  Namun akibat merebaknya penebangan hutan secara liar, pohon nyamplung sulit ditemui, bahkan sebagaian masyarakat pohon tersebut sudah punah.

Sedangkan Pulau menjangan Kecil merupakan tempat penangkaran penyu dan berbagai jenis fauna laut lainnya. Di tempat ini pula terdapat Wisma Apung yang terbuat dari anyaman bambu, sehingga penginapan ini menjadi tempat favorit untuk menginap bagi wisatawan.  Karena penginapan ini memiliki daya trik tersendiri, yakni tepat dibawah penginapan tersebut terdapat penangkaran ikan Hiu, sehingga pengunjung dapat bercengkrama dengan binatang buas tersebut atau sekedar memberi makan.  

Diresmikannya gugusan pulau Karimunjawa menjadi Taman Nasional, ternyata membawa berkah bagi masyarakat setempat, terutama dalam hal perekonomian dan pemanfaatan sumber daya manusia. Selain itu sarana yang diberikan pemerintah dalam hal pendidikan mengarah pada pembudidayan rumput laut dan ilmu perikanan.  

Menurut lagenda, Gugusan Pulau Karimunjawa ditemukan pertama kali oleh Amir Hasan, anak lelaki dari Raden Umar Said atau biasa dikenal dengan Sunan Muria. Dirinya menerima hukuman dari ayahnya untuk menyendiri dan merenungi kesalahannya di sebuah pulau yang terlihat Krimun-krimun (Sebutan bagi orang jawa yang berarti samar-samar) dari puncak Gunung Muria tempat tinggalnya.

Pulau yang terlihat samar-samar tersebut banyak dihuni oleh orang jawa yang mengungsi saat terjadinya perang kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Demak. Sehingga secara spontan Amir Hasan menyebut pulau tersebut KrimunJawa, yang artinya Pulau yang terlihat samar namun berpenghuni orang jawa. (dharma)

127 Hours

127 Hours

Pernahkah anda terbayang terperangkap sendirian diantara bebatuan dan tidak ada seorangpun yang bisa menolong anda? Sakit, haus, lapar, lelah, dan kesepian. Inilah yang terjadi pada seorang pendaki bernama Aaron Ralston, Ralston harus berjuang untuk mempertahankan hidupnya setelah ia terjatuh dan terjepit pada sebuah lembah di Canyonlands National Park. 

Kisah Aron Ralston sendiri kemungkinan besar adalah salah satu kisah nyata mengenai kemampuan manusia untuk bertahan hidup yang paling menakjubkan yang pernah ada. 

Film yang diangkat seorang Danny Boyle dari novel autobiografi berjudul Beetween A Rock and A Hard Place (2004), yang ditulis sendiri oleh Aaron Ralston merupakan film yang memberikan sebuah pemikiran mendalam mengenai kehidupan. Belajar dari kesalahan fatal yang telah diperbuat untuk kemudian memperbaikinya dan terus melanjutkan hidup, sebuah hasil yang sangat jarang untuk dicapai banyak film Hollywood akhir-akhir ini.

Kisah Aron Ralston yang dihadirkan oleh Boyle sendiri, harus diakui, mampu ditampilkan dengan tingkat intensitas yang sangat terjaga. Begitu terjaganya tingkat intensitas tersebut, kisah ini terkadang sangat menegangkan untuk disimak. Di sisi lain, begitu menegangkannya 127 Hours, kisah ini tetap berhasil menyampaikan sisi drama film ini yang dihadirkan lewat berbagai memori Ralston. Begitu personal dan sangat mampu menyentuh.

Kunci keberhasilan film ini juga berada di tangan seorang James Franco yang memegang kendali penuh atas seluruh aliran emosi yang hadir selama film ini berjalan. Sebagai karakter Aron Ralston, Franco berhasil tampil sebagai seorang karakter yang sangat mudah untuk disukai. Semangat Ralston untuk tetap bertahan hidup dan tidak mudah menyerah begitu terpancar dari setiap ekspresi yang dikeluarkan oleh Franco. Hal ini yang kemudian penonton secara perlahan akan jatuh hati pada karakter Ralston dan begitu mencurahkan perhatian pada dirinya. 

Ada satu momen di film ini dimana Ralston dipaksa untuk mengorbankan anggota tubuhnya untuk dapat bertahan hidup. Boyle berhasil menghadirkan adegan ini dengan begitu dramatis dan Franco mampu membawakan karakternya dengan begitu baik sehingga adegan ini menjadi begitu mendebarkan dan akan membuat anda meneteskan air mata.

Satu lagi film yang layak ditonton, karena 127 Hours merupakan sebuah karya yang walaupun begitu sederhana, namun mampu menyentuh, inspiratif dan dengan tampilan yang begitu kuat.(Zulham)

Walang Sibu-Sibu Bangga Menjadi Bagian Ambon Manise

Wisata kuliner yang wajib Anda kunjungi ketika berwisata di Maluku, tepatnya Kota Ambon, yaitu kedai kopi Walang Kopi Sibu-Sibu. Karena tempat ini menyajikan hidangan kopi khas Pulau Ambon dan suasana ala Hawaian yang sebelumnya jarang ditemui di kota-kota besar.


Kopi yang menjadi andalan dari kedai kopi ini adalah kopi Sibu-sibu dan Kopi Rarobang.  Jenis kopinya sendiri berasal dari biji kopi Robusta yang sudah dihaluskan dengan cara tradisional, sedangkan komposisi penyajiannya dicampur dengan menggunakan bubuk cengkeh halus, kemudian ditaburi biji ketapang muda sebagai penghias dan pelengkap aroma kopi.


Harganya pun cukup terjangkau. Namun soal rasa, aroma dan kualitas penyajiannya tidak kalah dengan kedai kopi modern. Cukup merogoh kocek sebesar Rp. 8.000 / cangkir, Anda bisa berdendang bak nyong Ambon Manise. Selain itu aneka cemilan yang disajikan wajib Anda juga wajib mencobanya misalnya seperti kue labu, Bruder Sageru (kue sagu), Simoli dan masih banyak lagi kue tradisional lainnya.

Uniknya, Kedai kopi yang berada di Jalan Said Perintis, Ambon memiliki design interior unik. Yakni seluruh ruangan dipenuhi dengan berbagai macam poster dari tokoh terkenal yng berasal dari Maluku, mulai dari Atlet, pemusik, hingga Miss Universe. Misalnya seperti Geovani Van Broncos, Daniel sahuleka, Ais Lawalata, Shelina Manuhutu dan masih banyak lagi tokoh terkenal lainnya.

Menurut pemiliknya Ibu Liyla, poster ini sengaja dipajang sebagai sumber inspirasi pemuda Maluku, khususnya Pulau Ambon untuk lebih mencintai daerahnya sendiri dan tidak meninggalkan tradisi yang sudah ada sejak dahulu kala.  Selain desain interior yang unik, Anda juga dihibur dengan music ala Hawaiian. Mengingat Maluku terkenal eksotisme bibir pantai yang indah.   

Sejenak sambil menikmati kopi dan berbagai cemilan yang tersedia, Walang Sibu-sibu yang mulai buka dari pukul 09.00-21.00 WITA juga menjual berbagai macam souvenir, mulai dari CD music tradisional dan berbagai macam kaos dengan berbagai motif yang unik.