Minggu, 25 September 2011

Bedogol dan Keberadaan Satwanya


Tingkat kemiskinan yang melanda masyarakat di sekitar kawasan hutan konservasi Bedogol, Sukabumi Jawa Barat, memaksa mereka merambah hutan dan memburu satwa liar sebagai mata pencaharian utama dalam menunjang perekonomian. Tentunya hal ini sangat mengancam habitat dan populasi satwa yang berada di ambang kepunahan.

Minimnya pengetahuan mengenai satwa dan pentingnya keberadaan hutan menjadi faktor utama penyebab perburuan dan perusakan alam yang dilakukan oleh warga setempat yang berada disekitar kawasan konservasi.Desa Tangkil misalnya, banyak dari warganya yang menggantungkan hidup dari memburu satwa guna memenuhi permintaan pasar gelap, tidak hanya itu saja, jenis kayu hutan tropis pun menjadi incaran warga. Mengingat kualitas harga kayu sangat mahal dipasaran. hal ini karena jarak antara desa sangat berdekatan dengan kawasan hutan.

Suhay (23), salah satu relawan dari Voulenteer Eagle menceritakan mengenai maraknya perburuan dan pemabalakan hutan di sekitar kawasan konservasi, kami hanya membantu petugas TNGP dalam pengawasan dan pendataan satwa dan tumbuhan. Mengenai penangkapan terhadap pelaku perburuan kami tidak ada kewenangan.

“Pernah beberapa kali, kami bertemu dengan warga desa yang sedang berburu disekitar hutan dan kami menegurnya, lalu yang terjadi malah kami yang ditodongkan dengan senjata laras panjang, jika melawan nyawa kami pun menjadi taruhan. Lain halnya jika kami masuk kehutan bersama dengan petugas”. Tambah Suhay bercerita.  

Mulanya hanya beberapa orang saja yang melakukan kegiatan tersebut, namun seiring dengan permintaan pasar gelap yang secara khusus menjual satwa liar. Warga setempat ikut ramai berburu dan meninggalkan lahan pertaniannya, ditambah lagi dengan iming-iming harga tinggi untuk satu ekor satwa. Makaka misalnya, monyet kecil yang memiliki ekor panjang misalnya yang mencapai Rp.150.000, lain halnya dengan seekor macan tutul yang harganya bisa mencapai satu hingga dua juta rupiah. Sedangkan untuk primata khas Jawa Barat yakni Surili (Presbytis Comata) dijual dengan harga Rp 200.000, padahal jenis ini keberadaanya sangat langka dan habitatnya hanya 2.500 ekor.

Lahan konservasi yang berada diketinggian 800 meter diatas permukaan lautn (mdpl), menjadi titik penentu dan pelindung bagi kehidupan satwa seperti Elang jawa, Macaca, Surili, Macan tutul, Lutung, Owa Jawa dan Kukang disekitar kawasan Bedogol. Mengingat rusaknya hutan oleh para pembalak liar dan pendaki gunung illegal, memaksa satwa ini harus turun hutan. Sebelumnya satwa-satwa ini hidup dan tinggal di ketinggian 2.000 Mdpl.   

Minimnya pengawasan dan penjagaan terhadap lahan konservasi membuat peluang bagi pemburu dan pembalak hutan untuk terus melakukan aksi negatif. Bagaimana tidak, lahan konservasi Bedogol yang memiliki luas 200 hektar hanya dijaga oleh enam petugas dari dinas Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGP), “itu pun jarang melakukan pengawasan, hanya datang ke pos jaga dan mengisi absen saja”. Tambah Suhay.

Kondisi seperti ini terus memaksa para relawan untuk terus melakukan pencegahan dan mensosialisasikan kepada warga sekitar kawasan konservasi untuk tidak melakukan kegiatan tesebut. Hingga saat ini, kawasan konservasi Bedogol masih menjadi incaran warga dalam kegiatan berburu dan perambahan hutan. 

Sosialisasi Tak Berjalan Lancar

Gerakan terhadap kondisi ini, memaksa Voulenter Eagle ikut andil dalam mensosialisasikan kepada masyarakat, mengenai pentingnya kelestarian hutan dan habitat didalamnya. berbagai aksi mulai dari pengenalan lingkungan hingga memberikan solusi terbaik untuk tidak berburu misalnya seperti pemberian hewan ternak.

Seiring dengan berjalanya proses sosialisasi, para voulenter nyatanya tidak disambut baik oleh masyarakat Desa Tangkil yang lokasinya hanya beberapa kilometer dari kawasan konservasi.

Berbagai ancaman lisan dan kekerasan fisik menjadi dilema besar bagi voulenter untuk terus berjuang. Tidak sedikit dari beberapa voulenter terlibat adu mulut dan berakhir pemukulan. Namun kondisi tersebut hanya dianggap sebagai angin saja.

“Pernah dalam dua bulan, kami tidak melakukan kegiatan pemantauan terhadap kawasan konservasi karena mendapat ancaman dari warga” ucap Suhay bercerita.

“Proses sosialiasasi sendiri berlangsung di awal tahun 2005, penyuluhan kepada masyarakat semakin intens, dalam satu bulan dilakukan empat kali penyuluhan. Mulai dari pendekatan, memberikan ternak, hingga bekerja sama dengan dinas keamanan terkait guna merazia senjata api yang digunakan dalam perburuan”. Suhay kembali menambahkan.

Nyatanya langkah tersebut mampu memberikan hasil maksimal bagi kelangsungan hutan konservasi Bedogol. Berdasarkan jurnal laporan Voulenter Eagle, hampir 80% masyarakat Desa Tangkil sudah meninggalkan profesi sebagai pemburu dan lebih banyak beralih menjadi petani dan peternak. (dharma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar